Pemurtadan; Ironi, Dilema, dan Hikmah

oleh : Fuad Mardhatillah UY Tiba

KEKHAWATIRAN dan reaksi dari berbagai pihak atas kembali terjadinya aksi pemurtadan di negeri syariat, bukanlah sikap konstruktif yang bisa menyelesaikan masalah. Dulu pernah saya katakan, bahwa aksi pemurtadan adalah suatu aksi yang selalu bisa “muncul dan tenggelam.”

Untuk diingat, aksi pemurtadan itu bukanlah aksi yang sekadar berlatar kepentingan agama, tetapi lebih bernuansa politis, yang sewaktu-waktu dipandang perlu dilakukan. Namun, secara sayup-sayup ia akan segera tenggelam dan menghilang, setelah para tokoh, elite agamawan, dan umat muslim lainnya telah cukup dibuat heboh.

Dalam satu dekade terakhir, peristiwa dan isu pemurtadan ini sedikitnya telah dua kali terjadi, mencuat ke permukaan dan cukup menghebohkan. Peristiwa pertama, terjadi beberapa bulan pasca-pencabutan DOM, sekitar akhir 1998, ketika ditangkap seorang perempuan warga negara asing, di Langsa dan ditemukan beredarnya kitab Injil berbahasa Aceh. Tetapi, seiring berjalannya waktu, isu tersebut menghilang dari pembicaraan dan pemberitaan media. Sementara perempuan warga asing itupun juga tak pernah jelas siapa sesungguhnya dia.

Kedua, di bulan pertama pascatsunami, di saat banyak bangsa asing datang membantu rakyat Aceh yang ditimpa musibah. Saat itu, berkembang berita di media dan dari mulut ke mulut, ada ratusan anak Aceh diboyong ke Jawa dan USA yang kemudian dikatakan telah dipelihara oleh orang-orang non-muslim, yang dipahami sebagai bagian dari aksi pemurtadan. Tetapi berita itu juga menghilang dari peredaran tanpa kepastian apapun.

Beberapa bulan kemudian isu pemurtadan kembali muncul, menguat dan menghebohkan, ketika diberitakan telah ditemukan sejumlah aksi dari pihak-pihak asing pemberi bantuan kemanusiaan, yang dipandang bertentangan dengan tradisi Islam.

Saat itu, BRR yang baru empat bulan berdiri, oleh sebagian tokoh politik dan agama dinilai sebagai lembaga “kambing hitam” yang paling bertanggung-jawab atas terjadinya aksi pemurtadan yang disinyalir dilakukan orang-orang asing. Alasannya BRR dipandang sebagai lembaga yang berwenang memberi izin masuk dan mengawasi orang asing ke dan di Aceh dengan alasan misi bantuan kemanusiaan.

Sementara lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan Islam yang sudah puluhan tahun berdiri di Aceh, luput dari perasaan yang lebih harus bertanggung jawab dan merasa perlu introspeksi. Ironis memang, padahal semakin banyak dan mudahnya muslimin Aceh berpindah ke agama lain, ini justru menunjukkan gagalnya proses pendidikan, pembinaan, dan penguatan akidah masyarakat Aceh yang selama ini mereka lakukan.

Akibat desakan untuk bertanggungjawab itu, BRR lantas merasa perlu melakukan investigasi yang kemudian terbentuk tim yang didanai BRR untuk melakukan investigasi di seluruh Aceh, khususnya kawasan bencana.

Hasilnya, tim investigasi meyakini telah terjadi aksi pendangkalan akidah. Tetapi, tim ini tidak mampu menunjukkan secara sahih dan kongkrit, tentang siapa melakukan apa, di mana dan kapan. Sehingga tidak ada tindakan tegas apapun yang dapat diambil pihak berwenang terhadap orang/kelompok tertentu yang dapat dibuktikan telah melakukan aksi-aksi pemurtadan itu.

Namun atas keyakinan itu, tim merekomendasi perlunya membentuk tim khusus yang bertugas melakukan pembinaan akidah dengan usulan sejumlah anggaran untuk operasionalnya. Akan tetapi, BRR tidak bersedia menampung usul pembentukan tim khusus tersebut, karena merasa banyak sekali lembaga formal dan informal lain yang telah puluhan tahun eksis yang kiranya lebih berhak untuk membentengi akidah umat yang memang tampak keropos.

Pascainvestigasi yang secara sahih tidak memberikan kepastian apapun dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan hukum, isu pemurtadan itupun menghilang dari pembicaraan elite dan pemberitaan media. Hingga akhirnya kini di tahun 2010, kembali muncul di Aceh Barat, yang saya yakin akan kembali menghilang sendiri setelah “membakar banyak jenggot.”

Ironi, dilema dan hikmah
Ada ironi, dilema sekaligus hikmah yang terkandung dalam fenomena aksi pemurtadan yang bersifat muncul-tenggelam itu. Ironinya, mengapa di negeri syariat, di mana umatnya sering mengklaim diri sebagai penganut Islam fanatis, yang antara budaya dan hukumnya “lage zat ngon sifeut” masih bisa terjadi aksi pemurtadan, dan bahkan memunculkan rasa khawatir di kalangan pemuka agama dan tokoh-tokoh elit masyarakat, mangapa? Bukankah dengan demikian, sebenarnya mereka selama ini tidak melakukan apapun untuk membentengi akidah umatnya? Sementara porses pendidikan keislaman yang selama ini berlangsung sebenarnya juga dirasakan ada banyak masalah, tetapi menjadi hal yang amat sulit diakui.

Sisi dilemanya, ketika di satu pihak, para pemimpin yang berkuasa, tokoh, dan pemuka masyarakat tampak seolah amat khawatir, bahwa aksi-aksi pemurtadan itu akan mengubah akidah Islam orang Aceh. Namun, di lain pihak mereka tidak pernah bersedia secara ikhlas dan terbuka mengintrospeksi diri serta meninjau kembali terhadap segala yang selama ini telah dikerjakan. Khususnya dalam konteks pendidikan formal dan nonformal, dan pada umumnya menyangkut berbagai kebijakan yang telah mereka hasil dan terapkan dalam dimensi yang lintas sektoral. Pertanyaannya, apakah semua itu telah merupakan kebijakaan yang prospektif bagi penguatan sosial-ekonomi dan keagamaan masyarakat yang kini tampak semakin rentan di semua lini?

Ada dilema di sini, di saat mereka seolah sedang mengkhawatirkan nasib keimanan masyarakat, tetapi di saat yang sama mereka sulit keluar dari lingkaran egosentrismenya, di mana sebenarnya mereka lebih hanya mementingkan diri sendiri. Akibatnya, masyarakat terus menerus terlumpuh-nistakan, meskipun anggaran yang dikelola pemerintah kini menjadi lebih besar berkali lipat. Tapi semua anggaran itu kembali ke saku para pemegang kuasa di berbagai sektor dan kalangannya, termasuk di kampus dan lembaga-lembaga pendidikan lain.

Di balik semua kenyataan faktual tersebut, ada hikmah yang dapat kita jadikan pelajaran khususnya bagi para pemimpin umat. Artinya, aksi pemurtadan itu sebenarnya merupakan sebentuk kepedulian Allah, untuk menunjukkan dan menyadarkan betapa persoalan akidah dan keimanan para pemimpin dan tokoh-tokoh pemegang kuasa di Aceh juga masih sangat amat bermasalah. Mereka belum bisa mengimani apa yang disebut Rasul, “la yukminu ahadukum hatta yuhibbu li akhihi kama yuhibbu li nafsih.” Karena kekuasaan yang sekarang mereka dapatkan dan ingin terus dilestarikan, lebih dilihat sebagai alat untuk kesejahteraan dan kebahagiaan pribadi/kelompoknya. Dan inilah juga merupakan aksi pemurtadan dan pendangkalan akidah diri mereka sendiri dan sekaligus contoh busuk bagi masyarakatnya.

Jadi penampakan rasa khawatir yang mengemuka terhadap aksi pemurtadan yang kini kembali terjadi di Aceh, lebih kurang hanyalah sebentuk aksi dramatis, yang coba menarik simpati masyarakat. Sementara isu aksi pemurtadan itu sendiri menjadi komoditas yang inilah warisan masa lalu yang sering dicaci maki, tapi dibuang sayang, karena terlalu enak untuk berkuasa.

* Penulis adalah peneliti senior The Aceh Institute.

http://www.serambinews.com/news/view/35725/pemurtadan-ironi-dilema-dan-hikmah

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*