Materi Fikih Oleh : DR (C) Tgk.Bustamam Usman, SHI, MA

Perkara Yang Membatalkan Puasa

Merujuk dalam kitab Fath al-Qarib, di bawah ini terdapat beberapa perkara yang bisa membatalkan puasa.

1. Haid. …
2. Berjimak. …
3. Gila. …
4. Murtad saat puasa. …
5. Muntah disengaja. …
6. Keluar air mani. …
7. Memasukkan obat ke dubur dan qubul. …
8. Melakukan kegiatan yang membatalkan puasa.

 

Alhadist : 5 Perkara menghilangkan Pahala Puasa

 

MIMPI BASAH DALAM PUASA

Hukum mimpi basah saat puasa Ramadan mungkin masih membingungkan bagi sebagian laki-laki muslim. Pasalnya, keluarnya air mani dengan sengaja merupakan salah satu perkara yang dapat membatalkan puasa.
Mimpi basah atau ihtilam sendiri merupakan hal alami yang terjadi pada tiap laki-laki sebagai tanda kedewasaan. Apakah hukum mimpi basah saat puasa Ramadan berbeda dengan hukum keluarnya air mani dengan sengaja?

Hukum mimpi basah saat puasa Ramadan
Mengutip Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd, mayoritas ulama fiqih sepakat bahwa suci dari jinabat bukanlah termasuk sebagai syarat sahnya puasa. Landasan ini didasarkan dari kebiasaan Rasulullah SAW yang dikisahkan oleh Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka berkata,


قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ.

Artinya: “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW pernah berhadas besar (junub) pada waktu Subuh di bulan Ramadan karena malamnya melakukan hubungan badan, bukan karena mimpi. Dan beliau berpuasa (tanpa mandi sebelum fajar),”

Sebab itu, para ulama menetapkan bahwa mimpi basah pada siang hari saat puasa Ramadan tidak membatalkan puasa. Tidak pula dikenakan kewajiban mengqadha puasa tersebut dan hukuman kafarah.

“Jika mencapai usia baligh (dengan mencapai umur 15 tahun atau dengan mengalami mimpi basah) pada siang hari di bulan Ramadan sementara dia berpuasa, dia harus menyempurnakan puasanya,” tulis Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Fiqih Islam waAdilatuhu Jilid 3.

Selain itu, mimpi basah akibat tidur siang pada puasa Ramadan dianggap tidak membatalkan karena orang yang tidur tidak akan mampu mengendalikan mimpinya. Demikian pula syahwat yang memuncak hingga keluar mani disebut terjadi di luar kemampuan seseorang.


Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda mengenai amalan seorang yang tidur tidak akan dicatat hingga dirinya kembali terbangun. Berikut bunyinya,

رُفِعَ اْلقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ النّائِمِ حَتّى يَسْتَيْقِظُ وَعَنِ اْلمَجْنُوْنِ حَتّى يُفِيْقَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَبْلُغَ

Artinya: “Pena catatan amal itu diangkat (tidak dicatat amalnya) untuk tiga orang: orang gila hingga dia waras, orang tidur hingga dia bangun, dan anak kecil hingga dia baligh (dewasa),” (HR An Nasa’i, Abu Daud, dan Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

 

Perbedaan Mani, Mazhi, dan Wadi

Merangkum dari berbagai sumber, Oase.id kali ini akan membahas pengertian mani, wadi, dan madzi, serta hukumnya dalam Islam.

1. Mani

Mani dalam ilmu kesehatan disebut juga sperma. Mani adalah cairan berwarna putih yang keluar dari kemaluan dan keluarnya diiringi dengan rasa nikmat dan syahwat. Keluarnya mani bisa dalam keadaan sadar ataupun dalam keadaan tidur, contohnya saat berhubungan suami istri atau saat mimpi basah. Rasulullah ﷺ bersabda,

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله تعالى عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  الْمَاءُ مِنْ الْمَاءِ  رَوَاهُ مُسْلِمٌ , وَأَصْلُهُ فِي الْبُخَارِيِّ

Dari Abi Said Al-Khudri ra berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,”Sesungguhnya air itu (kewajiban mandi) dari sebab air mani (keluarnya sperma).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hukum dari mani suci dan tidak najis, namun keluarnya mani mengharuskan seorang Muslim melakukan mandi junub. Jika pakaian yang digunakan terkena mani yang masih basah maka disunnahkan untuk mencucinya dan jika mani terlanjur mengering cukup dengan mengeriknya saja. Sebagaimana yang disampaikan oleh Aisyah ra, beliau berkata “Saya pernah mengerik mani yang sudah kering yang menempel pada pakaian Rasulullah dengan kuku saya.” (HR. Muslim)

2. Wadi

Wadi hampir sama dengan mani dalam segi bentuk, namun perlu diketahui wadi adalah cairan putih kental yang keluar dari kemaluan seseorang setelah buang air kecil. Hukum wadi termasuk najis karena dapat membatalkan wudhu. Cara untuk membersihkan wadi yaitu dengan mencuci kemaluan, dan dilanjutkan dengan berwudhu jika hendak melaksanakan salat. Apabila terkena pakaian, wadi dapat dibersihkan dengan cara dicuci atau dipercikkan air. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ, “Cucilah kemaluannya, kemudian berwudhulah.” (HR. Bukhari Muslim)

3. Madzi

Madzi merupakan cairan bening dan lengket yang keluar disebabkan karena seseorang membayangkan ‘ijma atau ketika tubuh sudah mulai terangsang. Keluarnya madzi tidak membuat orang lemas seperti keluar mani, bahkan terkadang keluarnya tanpa disadari dan madzi ini lebih banyak terjadi pada wanita.

Sama dengan wadi, madzi pun dihukumi najis. Apabila cairan madzi mengenai tubuh atau pakaian maka cukup dengan mencuci bagian yang terkena najis dan memercikkan air ke pakaian yang terkena madzi. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ terhadap seseorang yang pakaiannya terkena madzi,

“Cukup bagimu dengan mengambil segenggam air, kemudian engkau percikkan bagian pakaian yang terkena air madzi tersebut.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad hasan)

 


PROBLEM FIKIH UNTUK UMMAT

1. Hukum Keluar mani Ketika Berpuasa

Hukum puasa keluar air mani di siang hari Menurut syari’at Islam, air mani yang keluar karena hubungan suami istri atau bersetubuh dapat membatalkan puasa.  Tak hanya batal, orang-orang yang melakukan persetubuhan saat berpuasa juga harus membayar sanksi atau kaffarah dengan cara berpuasa selama dua bulan berturut-turut dan memberi makan 60 orang miskin dengan masing-masing orang harus diberikan 1 mud atau 7 ons bahan makanan pokok. Meskipun kaffarah bisa dibayarkan, umat Islam yang tengah menjalankan ibadah puasa diwajibkan menghindari hubungan badan di siang hari agar jauh dari murka Allah SWT. Diriwayatkan At-Turmudzi, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa meninggalkan sehari puasa Ramadan tanpa alasan yang meringankan dan tidak karena sakit, maka puasa sepanjang masa tidak cukup sebagai gantinya.” Tidak sahnya ibadah puasa akibat bersetubuh juga berlaku sama saat seseorang mengeluarkan air mani karena masturbasi atau melakukan kontak fisik, seperti bersentuhan hingga berciuman. Dalam kitab Al-Majmu’ disebutkan, “jika seseorang beronani lalu keluar mani atau sperma (ejakulasi) maka puasanya batal karena ejakulasi sebab kontak fisik. Laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang samadengan ejakulasi sebab ciuman. Onani memiliki konsekuensi yang sama dengan kontak fisik pada selain kemaluan antara laki-laki dan perempuan, yaitu soal dosa dan sanksi takzir. Demikian juga soal pembatalan puasa.” Maka dari itu, air mani yang keluar karena hubungan badan, masturbasi, dan kontak fisik dapat membatalkan puasa. Namun bagaimana jika seseorang keluar air mani secara tidak sengaja, seperti karena mimpi basah? Untungnya, air mani yang keluar karena seseorang mengalami mimpi basah tidak dapat membatalkan puasa.  Umat Islam yang tidur di siang hari lalu mengeluarkan air mani tetap bisa melanjutkan puasanya hingga masuk waktu maghrib. Hal ini karena orang yang tidur tidak dapat dikenai aturan Allah dan kedudukannya sama dengan anak-anak dan orang gila. Syekh Jum’ah, seorang guru besar di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dalam bukunya ‘Syekh Ali Jum’ah Menjawab 99 Soal Keislaman’ menuturkan, “puasanya diteruskan sampai waktu maghrib dan dia tidak berkewajiban membayar hutang puasa.”

2. Hukum Keluar Wadi


Mengutip dari buku Tuntunan Ibadah Praktis: Thaharah, Shalat, Puasa, dan Perawatan Jenazah oleh H. Thonthowi, madzi adalah cairan putih, bening dan lengket yang keluar dari kemaluan ketika dalam kondisi syahwat, tidak memuncrat, dan setelah keluar tak menimbulkan rasa lemas.

Air madzi termasuk najis ringan atau najis mukhaffafah. Namun jika keluar, kamu tak wajib mandi besar atau mandi junub. Sedangkan jika air madzi terkena tubuh, kamu wajib mencuci tubuh yang terkena air madzi.

Sementara itu, air madzi yang terkena pakaian harus dibersihkan dengan cara memercikkan air ke bagian pakaian yang terkena air madzi tersebut hingga bersih.

Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis tentang seseorang yang pakaiannya terkena madzi:

“Cukup bagimu dengan mengambil segenggam air, kemudian engkau percikkan bagian pakaian yang terkena air madzi tersebut,” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad hasan).

Karena air madzi termasuk ke dalam najis ringan, maka bisa disebut membatalkan wudu. Sehingga saat air madzi keluar dari kemaluan seseorang, ia wajib mencuci kemaluannya dan berwudu bila hendak salat. Hal ini berdasarkan dengan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

“Cucilah kemaluannya, kemudian berwudulah,” (HR. Bukhari Muslim).

3. Hukum Keluar Mazhi

Madzi merupakan cairan bening yang keluar dari kemaluan dengan tekstur tidak terlalu kental, tidak berbau, serta keluarnya tidak memancar. Jadi, sudah jelas bahwa madzi berbeda dengan air mani yang keluar lewat proses inzal. Dengan kata lain, madzi mirip dengan air kencing atau sesuatu lainnya yang keluar. Lalu, bagaimana hukum keluar madzi saat puasa Ramadhan menurut ajaran Islam? Yuk, cari tahu jawabannya dalam artikel di bawah ini.

Hukum Keluar Madzi Saat Puasa Ramadhan Menurut Ajaran Islam

Hukum keluar madzi saat puasa Ramadhan. Sumber: unsplash.com

Mengutip dari buku Panduan Ramadhan: Bekal Meraih Ramadhan Penuh Berkah karya Muhammad Abduh Tuasikal (2014), hukum keluar madzi saat puasa Ramadhan tidak akan membatalkan puasa tersebut. Namun, jika dilakukan secara sengaja sehingga mengakibatkan keluarnya madzi, maka akan mengurangi nilai ibadah wajib puasa tersebut.

Para ulama telah bersepakat bahwa hukum madzi adalah najis. Akan tetapi, caramenyucikannya cukup dengan air dan dilanjutkan berwujud. Sedangkan jika madzi keluar saat sedang berpuasa, hukumnya tidak membatalkan.

Syekh Hasan Hitou dalam kitab Fiqh ash-Shiyam berkata sebagai berikut:

وَلَوْ قبَّلَ رَجُلٌ امْرَأَتَهُ وَهُوَ صَائِمٌ، فَتَلَذَّذَ وَأَمْذَى، إِلَّا أَنَّهُ لَمْ يَنْزِلْ،فالَّذِي ذَهَبَ إِلَيْهِ الْجُمْهُوْرُ أَنَّهُ لَايُفْطِرُ، وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيَةِ، بِلَاخِلَافٍ عِنْدَهُمْ، وَحَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ،وَالشَّعْبِي، وَالْأَوْزَاعِي، وَأَبِي حَنِيْفَةَ، وَأَبِي ثور، قَالَ: وَبِهِ أقُوْلُ

Artinya: “Jika seorang suami mencium istrinya dan dia sedang berpuasa, kemudian merasa nikmat dan keluar madzi, namun tidak mengeluarkan mani, maka jumhur berpendapat puasanya tidak batal, dan itu adalah pendapat ulama Syafi’iyyah tanpa ada perbedaan di antara mereka. Ibnu al-Mundzir menceritakan pendapat tadi (orang yang keluar madzi tidak batal puasanya), dari Hasan al-Bashri, asy-Sya’bi, al-Awza’i, Abu Hanifah, Abu Tsaur, beliau (Ibnu al-Mundzir) berkata, ‘Aku berpendapat demikian’.”

Akan tetapi, ada juga pendapat yang menyatakan madzi yang keluar karena berciuman akan membatalkan puasa. Pendapat tersebut dikeluarkan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad sebagai berikut:

وَذَهَبَ الْإِمَامَان مَالِك وَأَحْمد إِلَى الْقولِ بِأَنَّهُ يُفْطِرُ بِخُرُوْجِ الْمَذِيالنَّاتِجِ عَنِ الْقُبْلَةِ

Artinya: “Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa madzi yang keluar setelah berciuman itu membatalkan puasa.”