7 PESAN MORAL DALAM IBADAH QURBAN

OLEH :

Tgk.BUSTAMAM USMAN, SHI, MA

Ketua Komisi B MPU Kota Banda Aceh

Qurb atau qurbân berarti “dekat” dengan imbuhan ân (alif dan nun) yang mengandung arti “kesempurnaan”, sehingga qurbân yang diindonesiakan dengan “kurban” berarti “kedekatan yang sempurna”. Kata Qurbân berulang tiga kali dalam al-Qur’an, yaitu pada QS.Ali Imran/3: 183, al-Ma’idah/5: 27, dan al-Ahqaf/46: 28. Jadi, qurban adalah penyembelihan binatang tertentu yang dilakukan pada hari Idul Adha dan tiga hari sesudahnya (hari tasyrik), yakni pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dalam ilmu fiqh, qurban juga disebut udhiah (karena dilaksanakan dalam suasana idul adha) juga berasal dari kata dahwah atau duhaa (waktu matahari sedang naik di pagi hari), karena biasanya penyembelihan hewan qurban dilaksanakan pada waktu duha. Dari kata dahwah atau duhaa tersebut diambil kata daahiyah yang bentuk jamaknya udhiah.

Dasar Hukum

Dasar hukum pelaksanaan qurban adalah firman Allah SWT yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus” (Q.S.al-Kautsar/108: 1-3).
 
Dasar kedua adalah firman Allah SWT yang artinya: “Dan telah kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagaian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur” (Q.S.22: 36).

Selain itu Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memperoleh suatu kelapangan, tetapi dia tidak berkurban, janganlah ia menghampiri tempat shalat kami” (HR.Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Berdasarkan ayat-ayat dan hadits di atas, Abu Hanifah (Imam Hanafi) memandang bahwa menyembelih kurban hukumnya wajib. Kewajiban itu berlaku untuk setiap tahun bagi orang yang bermukim (menetap) dalam kampung. Akan tetapi jumhur (mayoritas) ulama yang terdiri dari Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) memandang bahwa hukum melaksanakan ibadah kurban bukan wajib, tetapi sunah muakkad (sunah yang dikuatkan). Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang artinya: “Bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda apabila kamu melihat hilal (awal bulan) Dzulhijah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, hendaklah ia menahan (diri dari memotong) rambut dan kuku-kukunya (binatang yang akan dikurbankan)” (HR Jamaah kecuali Bukhari dari Ummu Salamah).
 
Jumhur ulama yang berpendapat bahwa kurban itu boleh tidak dilakukan didasarkan pada kalimat: “salah seorang yang melakukannya adalah lebih baik. Dalam hadits lain disebutkan secara tegas oleh Rasulullah SAW: “Ada tiga hal yang wajib atasku dan tatawwu (sunah) bagi kamu, yaitu: shalat witir, kurban, dan shalat duha”. (HR. Ahmad, al-Hakim, dan Daru Qutni dari Ibnu Abbas). Dengan hadits ini jumhur ulama memperjelas makna ayat yang mujmal (global) di atas dan menyimpulkan bahwa hukum melaksanakan ibadah kurban adalah sunah muakkad.

Fiqh Qurban

Adapun persyaratan-persyaratan yang dituntut dalam pelaksanaan ibadah kurban adalah: (1) orang yang hendak melaksanakan ibadah kurban harus sanggup menyediakan binatang kurbannya tanpa berhutang; (2) binatang yang akan dikurbankan harus memenuhi syarat sebagai berikut:

(a) tidak cacat, yang bisa mengurangi dagingnya atau bisa menimbulkan bahaya; (b) telah cukup umur, yakni unta harus berumur satu tahun atau lebih, sapi atau atau kerbau berumur dua tahun, domba berumur satu tahun, kambing berumur dua tahun atau sudah pupak (tanggal giginya), (c) disembelih pada waktu yang telah ditentukan oleh syara’ yaitu pada hari raya idul adha atau pada hari tasyrik (tanggal 11, 12, atau 13 Dzulhijjah), (d) Empat macam binatang yang tidak mencukupi untuk kurban, yaitu: yang ketara buta sebelah matanya (auraak), yang jelas pincang kakinya (arjaak), yang jelas sakit badannya (maridhah), dan yang sakit otak yang hilang sumsumnya karena kurus/ajfaak (HRTirmizdi), menurut Imam Taqiyyudin Abu Bakar, dalam kitab Kifayat al-Akhyar, kurban tidak mencukupi binatang yang putus telinga atau ekornya, tetapi mencukupi berkurban dengan binatang yang dikebiri (khashi) dan pecah tanduk, (e) Waktu menyembelih kurban adalah dari waktu shalat Id hingga terbenam matahari pada akhir hari tasyrik, seperti disebut dalam hadits Riwayat Bukhari-Muslim, “Barangsiapa menyembelih kurban sebelum shalat (Hari Raya Haji), maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa menyembelih kurban sesudah shalat dan dua khutbah, sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya dan telah menjalani aturan (sunah) orang-orang Islam (HR.Bukhari-Muslim), dan (f) Disunahkan ketika menyembelih kurban lima hal, yaitu: membaca bismillah, membaca shalawat kepada Nabi SAW, binatang yang disembelih dihadapkan ke kiblat, bertakbir, dan berdo’a agar diterima Allah SWT.

Dan syarat berikutnya, (3) orang yang melakukan kurban hendaklah beragama Islam yang merdeka, akil baligh, berakal, dan menurut Abu Hanifah, bermukim (bukan musafir). Oleh sebab itu, orang yang sedang melaksanakan ibadah haji tidak sah kurbannya. Akan tetapi jumhur ulama yang terdiri dari ulama Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’I, dan Mazhab Hanbali memandang sah juga orang musafir melakukan ibadah kurban.

Mengenai daging kurban, jumhur ulama yang terdiri dari ulama Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanbali membolehkan orang yang melaksanakan kurban memakan sedikit dari daging kurbannya itu, kecuali kurban yang dinazarkan. Menurut ulama Mazhab Hanafi, memakan kurban yang dinazarkan adalah haram. Akan tetapi Mazhab Maliki dan Mazhab Hanbali membolehkannya. Adapun menurut ulama Mazhab Syafi’I, kurban yang dinazarkan memang tidak boleh dimakan dagingnya, tetapi kurban biasa (kurban sunah) hukumnya sunah untuk memakan sebagian kecil dagingnya. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT yang artinya: “…maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta…” (Q.S.22: 36). Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Baihaki disebutkan: “Bahwa Rasulullah SAW memakan hati hewan kurbannya”.

Faidah dan pahala berkurban tergambar dalam hadits Rasulullah SAW: “Tidak ada satu pun perbuatan manusia yang paling disukai Allah pada hari raya haji (selain) dari mengalirkan darah (berkurban). Sesungguhnya orang yang berkurban itu datang pada hari kiamat membawa tanduk, bulu, dan kuku binatang kurban itu dan sesungguhnya darah (kurban) yang mengalir itu akan lebih cepat sampai kepada Allah SWT dari (darah itu) jatuh di permukaan bumi. Maka sucikanlah dirimu dengan berkurban” (HR.al-Titmidzi dan Ibnu Majah dari Aisyah).

Hikmah Ibadah Qurban

Sekurang-kurangnya, ada dua hikmah ibadah qurban. Pertama, hikmah Vertikal dan Horizontal. Vertikal, karena ibadah qurban bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan Horizontal, lantaran dengan menyembelih hewan qurban, dagingnya dapat dinikmati oleh orang-orang yang membutuhkan. Dan dari sinilah akan terbentuk solidaritas dan kesetiakawanan sosial.
Kedua, Hikmah Sosial, Moral, dan Spiritual. Hikmah Sosial, karena qurban berdampak strategis bagi ikhtiar membangun kebersamaan dan pemerataan dalam masyarakat. Misalnya, ada dalam masyarakat kita yang belum tentu dapat makan daging sekali dalam setahun. Qurban dapat dijadikan sarana membangun kebersamaan dan keharmonisan hubungan antara yang punya (the have) dengan yang tidak punya (the have’n).

Hikmah Moral, karena perintah berqurban mengingatkan bahwa pada hakikatnya kekayaan itu hanyalah titipan Allah. Dari sini, seharusnya manusia menyadari bahwa pada harta yang dimilikinya ada hak orang lain, yang harus ditunaikan dengan cara mengeluarkan zakat, infaq, shadaqah, wakaf, termasuk qurban. Hikmah Spiritual, qurban yang secara bahasa berasal dari kata: qaraba-yaqrobu-qurbaanan, yang berarti “dekat”, dimaksudkan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara mendekatkan diri kepada sesama manusia melalui ibadah qurban. Imam Ghazali menegaskan bahwa: Penyembelihan hewan qurban adalah sebagai simbol dari penyembelihan atau penghilangan sifat-sifat kebinatangan yang ada pada manusia, seperti sifat rakus, tamak, serakah, dan mau menang sendiri.

Dengan berqurban, diharapkan semua manusia dapat membuang sifat-sifat kebinatangan yang dapat mendatangkan musibah dan bencana itu. Dalam hubungannya dengan kehidupan kita sekarang, ibadah qurban mengandung 7 (tujuh) pesan moral. Pertama, Kepada para Pemimpin. Para Pemimpinlah yang seharusnya lebih dahulu untuk berqurban. Bukan hanya dengan menyembelih binatang, tetapi juga dengan menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang ada pada mereka. Ibadah qurban, mengingatkan kepada para elit Pemerintahan; dari Presiden sampai Pengurus RT, dari DPR Pusat sampai DPRD, dari Pemimpin Ormas sampai Partai Politik, bahwa hanya dengan menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang ada pada mereka, mereka akan bermartabat di hadapan Allah dan terhormat di mata manusia.

Kedua, Kepada Para Pengusaha dan Pedagang. Berqurbanlah dengan menyembelih sifat-sifat curang dan tidak jujur, seperti mengurangi timbangan, curang dalam takaran, menipu dan memperdaya pembeli. Jadilah pedagang yang jujur, yang dapat menjadi tiang tegaknya ekonomi Islam. Jangan meminjamkan uang dengan maksud mengambil bunganya sebab termasuk perbuatan riba yang dilarang Allah.

Ketiga, Kepada Para Aparat Penegak Hukum (Hakim, Jaksa, Pengacara, dan Polisi). Berqurbanlah dengan menyembelih keinginan untuk menjual-belikan hukum, hindari mafia peradilan dan mafia kasus, jauhkan diri dari perilaku menyuap dan disuap. Junjung tinggi keadilan, jadikan hukum positif dan hukum normative sebagi pertimbangan dalam memutuskan hukum. Asah terus kejujuran hati nurani.

Keempat, Kepada Para Dosen, Guru, dan Para Pendidik lainnya.
Berqurbanlah dengan kesungguhan melahirkan generasi yang berotak Jerman tetapi berhati Mekkah. Lambang integrasi antara kecerdasan akal dan kecerdasan hati, intelektual quations dan emotional quations, antara kecerdasan dan akhlak mulia, antara filsafat dan tasawuf.

Kelima, Kepada Orang Tua dan Anak-anak. Kepada Orang Tua, Jadikan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar sebagai suri tauladan dalam pengorbanan terhadap apa yang paling dicintainya; anak semata wayang-nya, Ismail AS yang dia rindukan bertahun-tahun kehadirannya, dia qurbankan karena kecintaan dan keta’atan kepada Allah SWT di atas segala-galanya. Karena itu, beri anak-anak pendidikan agama dan pergaulan yang terbaik, ajarkan kepada mereka mengenal Allah dan mencintai Allah. Didik anak-anak dengan perhatian penuh, jangan mendidik anak-anak dari sisa waktu kita.

Keenam, Kepada Anak-anak. Jadikan Nabi Ismail AS sebagai teladan dalam keta’atan kepada perintah Allah serta penghormatan kepada kedua orang tua. Ketika Nabi Ibrahim meminta pendapat putranya, Ismail AS, bahwa Allah memerintahkan Ibrahim untuk mengurbankan Ismail, Ismail menjawab: Ya Abatif’al maa tu’mar satajidunii insya Allah min al-shabirin, Wahai ayahku sayang, kerjakan apa yang diperintahkan Allah kepadamu, insya Allah engkau mendapati-ku termasuk anak yang sabar.

Ketujuh, Kepada Kita Semua, Muslimin-Muslimat. Qurbankan nikmatnya tidur di malam hari dengan sholat malam dan shalat subuh berjamaah. Qurbankan manisnya harta dengan mengeluarkan zakat, infaq, shadaqah, dan memotong hewan qurban. Qurbankan empuknya jabatan dengan melayani umat. Jadikan semua yang kita miliki sebagai alat mendekat kepada Allah SWT. Wallahu a’lam