Maulid dan Karakteristik Umat  Nabi Muhammad SAW

Maulid dan Karakteristik Umat  Nabi Muhammad SAW

Oleh:

Tgk.BUSTAMAM USMAN, SHI, MA

Ketua Komisi B MPU Kota Banda Aceh

 

Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab:21)

Sejarah Maulid

Kita sekarang berada di bulan Rabi’ul Awwal, bulan dimana Nabi Muhammad saw. dilahirkan. Karena itu juga bulan ini sering disebut dengan bulan maulid atau maulud. Banyak negeri kaum muslimin yang memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw., tak terkecuali di Indonesia.

Sejarah perayaan maulid Nabi Muhammad saw. dimulai sejak zaman kekhalifahan Fatimid (keturunan dari Fatimah Az-Zahrah, putri Nabi Muhammad saw.). Shalahuddin Al-Ayyubi (1137 M – 1193 M), panglima perang waktu itu, mengusulkan kepada khalifah agar mengadakan peringatan maulid Nabi Muhammad saw. Tujuannya untuk mengembalikan semangat juang kaum muslimin dalam perjuangan membebaskan Masjid Al-Aqsha di Palestina dari cengkraman kaum Salibis. Hasilnya? Semangat jihad umat Islam menggelora. Di tahun 1187 M, Shalahuddin sendiri yang membawa pasukannya masuk kota Yerusalem dan membebaskan Al-Aqsha dari cengkraman musuh-musuh Allah.

Kita tidak ingin mempertentangkan antara kelompok yang mengatakan peringatan maulid adalah ritual yang mesti dijalankan, dengan kelompok lain yang menganggap peringatan maulid sebagai perbuatan yang mengada-ada atau bid’ah, karena tidak pernah dipraktekkan oleh Rasulullah, sahabat, tabi’in, ataupun tabi’it tabi’in.

Terlepas dari dua pendapat di atas, yang lebih penting untuk kita renungkan adalah bagaimana umat Islam dewasa ini bisa meneladani Nabinya dalam kehidupan. Atau pertanyaannya: adakah karakter umat Muhammad sudah dimiliki oleh kita yang mengaku umatnya? Apakah dengan kondisi yang seperti sekarang ini kita yakin kelak akan diakui oleh Beliau sebagai umatnya yang berhak mendapat syafa’atnya?

Sudahkah sifat-sifat yang tersurat dalam ayat 29 surat Fath sudah menjadi karakter diri kita?

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (Fath:29)

Karakter Umat Muhammad

Pertama, keras dan tegas terhadap orang-orang kafir (asyiddau ’alal kuffar).

Perlu kita dudukkan dengan jernih tentang klasifikasi orang kafir. Dalam pandangan Islam orang kafir ada dua macam. Pertama, kafir harbi, yaitu orang kafir yang memusuhi dan memerangi ummat Islam. Kelompok pertama ini wajib diperangi. Kedua, kafir zhimmi, yaitu orang kafir yang terikat janji perdamaian dan hidup bersanding dengan umat Islam dengan damai. Mereka ini harus dilindungi.

Keras dan tegas di sini ditujukan kepada orang kafir yang memusuhi dan memerangi Umat Islam. Sikap keras dan tegas juga ditujukan terhadap ajaran, budaya, dan pemikiran mereka. Maklum, dewasa ini tak sedikit umat Islam bersikap tegas dan keras terhadap orang-orang kafir, namun bermesraan dengan ajarannya.

Dulu kita bangga dengan jumlah umat Islam Indonesia 99%. Namun jumlah itu terus berkurang dan berkurang. Sekarang tercatat tinggal 87%. Itu pun jumlah secara kuantitas. Entah berapa persen jumlah umat Islam dari sisi kualitas. Penurunan jumlah itu dikarenakan umat tidak sadar bahwa mereka digempur ghazful fikri atau perang budaya. Padahal invasi pemikiran justru akibatnya sangat berbahaya. Sebab, ini perang dimana yang diperangi tidak merasa diperangi.

Ada contoh lain. Sebagian umat Islam, apakah itu akademisi atau pelaku kebijakan publik, merasa lebih bangga ketika merujuk pada referensi orang kafir. Padahal, itu justru menjerumuskan umat Islam ke dalam jurang kehancuran. Fakta kehancuran ekonomi umat Islam akibat mengadopsi sistem ekonomi ribawi milik kaum kapitalis sudah terjadi. Kekisruhan sosial akibat penerapan sistem politik sekular yang memisahkan agama dan negara juga telah melahirkan pemimpin-pemimpin tak bermoral yang tak pantas menjadi pemimpin yang diikuti.

Kondisi seperti itulah yang menjadikan umat lain bersorak sorai. Tujuan mereka tercapai. Umat Islam telah jauh dari ajarannya. Kata Samuel Zwimmer, ”Kalian tidak perlu capek-capek mengeluarkan ummat Islam dari agamanya dan pindah ke agama kita. Cukuplah kalian jauhkan umat Islam dari ajaran agamanya sehingga mereka tidak lagi bangga dengan agamanya.”

Karakter kedua, berkasih sayang terhadap sesama umat Islam (ruhama’u bainal muslimin).

Setiap yang bersyahadat laa ilaaha illallah wa muhammad rasulullah adalah saudara. Persaudaraan Islam ini tidak dibatasi oleh perbedaan letak teritorial, bahasa, suku, kelompok, partai, golongan, atau madzhab. Allah swt. Berfirman, ”Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10).

Perumpamaan seorang muslim satu dengan yang lainnya ibarat satu tubuh atau satu bangunan yang saling menguatkan. Oleh karena itu, sesama muslim wajib saling asah, asih, asuh. Saling menyayangi, mencintai, melindungi, menutupi aib, tidak menghina, mencemooh, memfitnah, apalagi menumpahkan darah sesamanya. Rasulullah saw bersabda, ”Janganlah kalian saling mendengki, membenci, memutus persaudaraan. Dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Shahih Bukhari, Bab Haramnya Hasud, Jilid 12, Hal. 415).

Umat Islam di manapun berada berhajat untuk bersatu dan saling mendukung. Syaikh Yusuf Al Qaradhawi mengingatkan kita, ”Jangan sampai berbedaan madzhab atau kelompok menjadikan umat Islam terpecah belah menjadi umat sunni atau umat syi’i, misalkan. Bukankah Allah swt. memerintahkan kita untuk berpegang teguh dengan tali Allah?” Beliau menambahkan, Kalau kita sekarang sebagai umat Islam terus membangun komunikasi dengan umat lain, mengapa kita tidak membangun komunikasi di antara internal umat Islam?” (Majalah Al Mujtama’ edisi Februari 2007).

Saling berkasih sayang dan menjaga persatuan di antara elemen umat Islam tidaklah menjadi slogan semata. Itu harus diperjuangkan agar menjadi wujud dalam kehidupan umat Islam.

Karakter ketiga, senantiasa rukuk dan sujud (rukka’an sujjada).

Umat Muhammad senantiasa menjaga shalat dengan baik. Menunaikannya dengan khusyu’. Menghayati maknanya. Mereka melaksanakannya sesuai rukun dan syaratnya. Dikerjakan di awal waktu dengan berjama’ah. Seluruh anggota badan mereka ikut serta shalat: kalbu, pikiran, tangan, kaki, mata dan telinga serta anggota badan yang lain bersujud dihadapan Allah swt. Dengan demikian ia akan terjaga dari kemaksiatan dan kemungkaran di luar shalat. Bagaimana mungkin kalbu akan mendengki terhadap sesama, padahal sebelumnya bersujud. Bagaimana mungkin pikiran terbersit hal yang kotor, padahal sebelumnya bersujud. Bagaimana mungkin tangan mengambil hak orang lain atau melakukan korupsi, padahal sebelumnya bersujud. Kaki, mata, telinga, dan anggota badan yang lain juga demikian.

Itulah rahasia firman Allah swt, ”Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Ankabut: 45).

Shalat yang benar juga akan tercermin dari perilaku sosial pelakunya, yaitu terlihat dari sejauh mana kepedulian terhadap sesama dan memberikan manfaat untuk orang lain.

Karakter keempat, senantiasa mengharap ridha Allah swt.

Orientasi hidup umat Muhammad adalah untuk Allah swt. semata. Ia paham betul fungsi ia dihidupkan di muka bumi, adalah untuk pengabdian total kepada Tuhan semesta alam. Ia siap diperintah dengan aturan Allah swt. Ia rela meninggalkan yang dilarang karena Allah swt. semata. Bahkan, sikap ia yang keras terhadap orang kafir, atau berkasih sayang terhadap sesama muslim, atau tunduk patuh sujud, adalah karena dilandasi mencari keridhaan Allah swt.

Dalam arti kata, kita membenci seseorang karena Allah swt. Kita berkasih sayang dengan sesama muslim karena dipadukan cinta kepada Allah swt. Sebab, boleh jadi kendala persaudaraan Islam adalah karena adanya kepentingan dunia: keinginan jabatan atau karena sekedar beda kelompok. Yang bisa menyatukan langkah dan persatuan umat Islam adalah tujuan untuk menggapai ridho Allah swt.

Dalam dzikir al ma’tsurat yang diajarkan Rasulullah saw. sering kita lantunkan: ”Saya ridha Allah sebagai Tuhan-ku, Islam sebagai agama-ku, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul-ku.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi. Hadits shahih).

Karakter kelima, disegani teman dan ditakuti lawan.

Karakter umat Muhammad adalah sejuk dipandang, kuat berwibawa, laksana pohon rindang nan banyak buahnya. Sekaligus ditakuti oleh lawan-lawannya.

Oleh karena itu umat Islam seharusnya kuat dalam segala hal: kuat dalam komitmen terhadap agamanya, kuat pendukungnya, kuat dalam percaturan kehidupan dalam segala dimensinya.

Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).” (Al Fath: 29).

Itulah karakteristik umat Muhammad. Dan peringatan maulid yang dilaksanakan oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia mestinya tidaklah sekadar tradisi tahunan tanpa ruh dan jiwa. Namun momentum maulid bisa dijadikan sebagai tonggak untuk meneladani Rasulullah saw. dalam segala sisi kehidupan. Juga semangat peningkatan umat Islam untuk memiliki dan menjaga karakter umat Muhammad agar kita di yaumil qiyamah kelak diakui Beliau sebagai umatnya. Hanya dengan begitu kita berhak mendapat syafa’atnya. Insya Allah!