TAKZIM GURU

GURU PAHLAWAN ZAMAN BERZAMAN

Oleh :

Tgk. Bustamam Usman, SH.I,MA

Ketua Komisi B MPU Kota Banda Aceh

 

Guru adalah sebagai pendidik, pembuka mata hati manusia dan menjadi penerang dalam kegelapan dengan memberikan cahaya ilmu pengetahuan. Menghormati guru merupakan wujud terimakasih kita atas jasa-jasa yang telah diberikannya. Perbuatan ini pula juga telah dilakukan oleh para ulama terdahulu kepada guru-guru mereka.  Salah satu contohnya adalah Imam Syafi’i. Imam Syafi’i yang terkenal sebagai ulama tersohor di zamannya dan menjadi salah satu imam mazhab masih menunjukan sikap tawadhu atau kerendah hatiannya terhadap gurunya. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan dan sikap sopan beliau terhadap gurunya. Beliau berkata : ”Saya tidak dapat membolak-balik lembaran kitab dengan suara keras di hadapan guru saya, supaya guru saya jangan sampai terganggu. Saya pun tidak bisa meminum air di hadapan guru saya, sebagai rasa hormat dan takzim kepadanya”. Begitu mulia akhlak beliau sebagai seorang murid yang sangat hormat dan takzim kepada gurunya. Sikap ini pun masih beliau pertahankan dan jasa gurunya masih dikenang hingga beliau menjadi seorang ulama besar.

Akhlak antara guru dan murid sangat penting apalagi ketika masih dalam proses pendidikan berlangsung. Dan persoalan guru dengan murid lebih baik dicontohkan pada ulama-ulama besar terdahulu. Ibnu Jamaah mengatakan bahwa orang berilmu itu tidak boleh congkak terhadap siapa pun karena orang tersebut walaupun lebih rendah ilmunya, keturunan maupun usianya daripada kita mungkin mereka memiliki kelebihan melebihi kita. Ambillah sesuatu yang bermanfaat di mana saja dan dari siapa saja. Hikmah itu adalah harta orang mukmin yang tercecer, ia boleh diambil dimana saja dia dapati. Segolongan ulama salaf pernah mengambil manfaat daripada murid-murid mereka apa yang tidak dimiliki padanya.

Guru atau pendidik adalah orang-orang yang paling banyak menanam amal jariyah. Pada umumnya seorang guru selalu berhati-hati dan ingin memberikan contoh terbaik bagi murid-muridnya, memberikan nasihat, berkata baik serta santun, mengajarkan ilmu dengan ikhlas, menepati janji, serta kebaikan yang lainnya yang ingin ditanamkan pada murid-muridnya. Hampir setiap perkataan maupun perbuatan yang dilakukan oleh guru menjadi contoh bagi muridnya dan dianggap sebagai pelajaran yang harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, sebagai seorang guru yang bertugas mengajarkan ilmu dan menurunkan nilai-nilai kepada murid-muridnya, sebaiknya memiliki dan menanamkan sifat-sifat mulia di hadapan muridnya agar dapat diikuti, disegani serta dimuliakan oleh muridnya. Sifat-sifat mulia dari seorang guru yang dapat menjadi sandaran bagi muridnya antara lain sebagai berikut :

  1. Seorang guru harus memiliki sifat zuhud khususnya dalam mendidik
  2. Guru harus bersih jiwa dan raga
  3. Memberi ilmu karena Allah (ikhlas)
  4. Guru harus menjaga kehormatannya
  5. Guru harus memiliki ilmu dan metode mengajar
  6. Guru sebagai seorang ayah (orang tua) terhadap muridnya
  7. Guru perlu memahami tabi’at atau perilaku murid

Watak guru harus menjadi cerminan bagi murid. Misalnya seorang guru harus memiliki sifat sabar, ikhlas, jujur, kasih sayang, wara’, dan bertakwa kepada Allah.

Kedudukan seorang guru dengan muridnya adalah seperti kedudukan  orang tua dengan anaknya di rumah. Guru ibarat orang tua kedua bagi seorang anak atau murid. Bahkan kedudukan seorang guru lebih mulia daripada orang tua. Sebagaimana dalam hadis yang berbunyi, “Muliakanlah orang-orang yang kamu belajar daripadanya” dan

“Muliakanlah guru-guru agama, karena barangsiapa memuliakan mereka, maka berarti mereka memuliakan aku”.

Guru lebih mulia hal ini disebabkan karena guru memiliki tugas dan tanggungjawab yang besar dalam mendidik dan membentuk karakter seorang anak. Guru mendidik dan mengajarkan anak-anak dari segi rohani yang bersifat spiritual dan universal. Sedangkan orang tua hanya mendidik dan mengajarkan anaknya dari segi jasmani yang bersifat material. Sehingga bisa dibilang guru menjadi sebab bagi bekal kehidupan murid-muridnya yang kekal di akhirat nanti dengan ilmu pengetahuan yang diajarkannya. Selain sebagai orang tua kedua, guru juga mempunyai kedudukan yang lainnya diataranya guru sebagai pendidik, fasilitator, motivator, tempat bertanya, petunjuk jalan, dan inovator bagi murid-muridnya.

Seorang murid tidak boleh menentang guru secara lahir atau memprotesnya dalam batin. Barang siapa yang membangkang secara lahir, berarti ia kurang ajar. Sementara, orang yang memendam sikap penentangan dalam hati berarti ia telah memaparkan keborokan dirinya. Seorang murid mesti mengendalikan diri dan menjauhkan diri dari sikap-sikap tersebut dan memperbanyak membaca membaca doa ini, “Rabb Kami, ampuni Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu daripada Kami. Janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb Kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyatun lagi Maha Penyanyang.” (QS Al Hasyr: 10)

Menghormati guru menjadi etika wajib yang harus dilaksanakan oleh seorang murid, karena bagaimana pun guru adalah pengganti orang tua murid di sekolah atau di institusi pendidikan. Menghormati guru hampir sama dengan menghormati orang tua. Guru yang memberikan ilmu pengetahuan kepada muridnya dan agar berhasil dalam mencari (menuntut) ilmu serta menjadikan ilmu itu bermanfaat di dunia dan akhirat, maka seorang murid haruslah memiliki etika-etika dalam mewujudkannya. Beberapa etika-etika yang wajib dipenuhi oleh seorang murid terhadap gurunya adalah sebagai berikut:

  1. Apabila menghadap guru atau kebetulan berjumpa dengannya, berilah salam lebih dahulu kepadanya.
  2. Jangan banyak bicara di hadapannya maupun membicarakan hal-hal yang tidak berguna, apalagi jika pembicaraan itu tidak berkenan di hati guru.
  3. Apabila hendak bertanya tentang suatu perkara, mohonlah izin terlebih dahulu. Sebagaimana dalam firman Allah SWT

“Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri yang akan menerangkannya kepadamu.” (QS. Al Kahfi : 70)

  1. Janganlah bertanya dengan tujuan untuk mengujinya serta jangan menentangnya dengan cara menampakkan kepandaian kita sehingga ada perasaan dalam hati bahwa kita lebih pandai daripada guru kita.
  2. Bersikap tawadhu’ atau tidak meninggikan diri di hadapan guru. Sebagaimana Rosulullah SAW pernah bersabda,

لَيْسَ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِ الَتَّمَلُّقُ إِلاَّ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ

“Bukan merupakan kebiasaan (adap) seorang Mukmin dengan merendahkan diri di hadapan orang lain, kecuali pada saat sedang menuntut ilmu (belajar).”

Al-Ghazali juga mengatakan bahwa :

“Tidak layak bagi seorang murid berlaku sombong terhadap gurunya, dan sebaliknya harus ada hubungan yang baik antara guru dan murid. Ilmu itu tidak akan didapat kecuali dengan rasa rendah diri.”

  1. Jangan bersenda gurau di hadapan guru, apalagi mengajak guru untuk berguyon.
  2. Jangan menanyakan suatu masalah kepada orang lain di tengah-tengah majelis ilmu gurumu.
  3. Apabila duduk di hadapan guru atau di dekatnya, janganlah menengok kiri kanan, tetapi duduklah dengan tenang.
  4. Jangan terlalu banyak bertanya, apalagi jika pertanyaan itu tidak berguna. Demikian pula jangan bertanya di kala guru sedang banyak pekerjaan serta terlihat lelah.
  5. Apabila guru berdiri, ikutilah berdiri sebagai penghormatan terhadapanya.
  6. Jangan bertanya suatu persoalan kepadanya di tengah jalan, atau bertanya ketika ia sedang berjalan. Tunggulah sampai di tempat tinggalnya.
  7. Jangan tegak berdiri di hadapan guru, ketika ia sedang duduk, jika memang tidak ada yang Anda kerjakan atau berlaku tidak hormat lainnya.
  8. Jangan menghentikan langkah guru di tengah jalan hanya untuk hal-hal yang tidak artinya.
  9. Jangan berburuk sangka terhadap yang dilakukan oleh guru, mungkin ada perbuatan guru yang menurut zahir kita menyalahi padahal ia lebih mengetahui akan rahasia yang dikerjakannya. Apabila menghadapi hal yang demikian maka bersabarlah untuk memperoleh penjelasannya.[8] Hal ini dapat dilihat dari kisah Nabi Musa ketika berguru atau mencari ilmu dari Nabi Khidir. Cerita Nabi Musa mencari ilmu ini dapat dilihat di QS Al Kahfi: 60-82.

Perilaku terbaik dari seorang guru ialah, sebagaimana dikatakan, “Siapa yang mempelajari suatu ilmu, kemudian mengamalkannya, dan setelah itu mengajarkannya kepada orang lain, maka ia termasuk kelompok yang disebut sebagai ‘pembesar’ langit  pada kerajaan langit.” Orang yang dikaruniai ilmu yang banyak lalu beramal dengannya, dan juga mengajarkannya kepada orang lain, maka ia dipandang lebih mulia daripada para malaikat langit maupun malaikat yang bertugas di bumi. Manusia demikian dapat diibaratkan matahari yang menyinari diri sendiri dan sekaligus mendistribusikan sinarnya kepada benda lainnya. Orang yang seperti itu laksana wangi kasturi, ia sendiri harum dan sekaligus menebarkan semerbak keharumannya.

Orang yang telah menetapkan diri dan bertekad untuk mengambil perkerjaan sebagai guru, maka ia harus menjalankan tugas dan kewajiban-kewajiban sebagai berikut:

Seorang guru harus memperlihatkan kebaikan, simpati dan bahkan empati kepada para muridnya, serta memperlakukan mereka laksana anaknya sendiri. Rasulullah SAW pernah bersabda,

إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ كَا لْوَالِدِ لِوَلَدِهِ

“Sesungguhnya posisiku terhadap kalian, laksana seorang ayah terhadap anak-anaknya.”

Tugas seorang guru lebih berat daripada kedua orangtua. Bahkan, seorang guru adalah ayah sejati bagi murid-muridnya. Jika seorang ayah (orangtua) menjadi sebab atas keberadaan anak-anaknya di dunia yang fana ini, maka seorang guru justru menjadi sebab bagi bekal kehidupan murid-muridnya yang kekal di akhirat nanti.

Seorang guru harus mengikuti teladan dan contoh dari akhlak Rasulullah SAW. Dengan kata lain seorang guru tidak diperkenankan menuntut imbalan atau upah bagi aktivitas mengajarnya, selain mengharapkan kedekatan diri kepada Allah SWT, semata. Sebagai mana dijelaskan dalam firman-Nya: “Katakanlah, ‘Aku tidak menginginkan upah darimu untuk seruanku ini. Upah yang aku harapkan di sisi Allah.” (QS. Hud: 29)

Seorang guru tidak boleh menyembunyikan nasihat atau ajaran untuk diberikan kepada murid-muridnya. Setelah selasai menyampaikan ilmu-ilmu lahiriah, ia harus mengajarkan ilmu-ilmu batiniah kepada murid-muridnya. Seorang gur harus mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah dekat dengan Allah SWT, bukan kekuasaan atau kekayaan.

Seorang guru berusaha mencegah murid-muridnya dari memiliki watak serta perilaku jahat dengan penuh kehati-hatian atau melalui cara-cara yang halus seperti sindiran. Dengan simpati, bukan keras dan kasar. Karena jika sikap semacam itu yang dikedepankan maka murid akan hilang rasa takut dan ketidakpatuhan pada guru.

Seorang guru tidak boleh merendahkan ilmu lain di hadapan para muridnya. Melainkan seorang guru dari satu disiplin ilmu tertentu harus turut mempersiapkan murid-muridnya untuk mampu mempelajari ilmu-ilmu lainnya.

Seorang guru harus mengajar murid-muridnya hingga mencapai batas kemampuan dan pemahaman mereka. Tidak diperkenankan seorang guru menyampaikan materi pelajaran di luar batas kapasitas pemahaman muridnya.

Seorang guru harus mengajarkan kepada para murid yang berkemampuan terbatas hanya sesuatu yang jelas, lugas, dan yang sesuai dengan tingkat pemahamannya yang terbatas.

Seorang guru harus melakukan terlebih dahulu apa yang diajarkannya dan tidak boleh berbohong dengan apa yang disampaikannya. [11] Sebagaimana firman Allah SWT, “Mengapa engkau suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedang engkau melupakan diri (kewajiban)mu sendiri?” (QS Al-Baqarah 44).