PERANAN MEDIATOR DALAM MEMEDIASI PERKARA PERCERAIAN

Peranan Mediator Dalam Memediasi Perkara Perceraian

Oleh

Tgk.BUSTAMAM USMAN, SHI, MA

Ketua Komisi B MPU Banda Aceh

(Bidang Pendidikan, Penelitian, Pengembangan dan Ekonomi Ummat)

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita yang diharapkan di dalamnya tercipta rasa sakinah, mawaddah warahmah. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan kepada keduanya untuk adanya saling pengertian dan saling memahami kepentingan kedua belah pihak, terutama yang berkaitan dengan hak dan kewajiban.

Dalam kehidupan rumah tangga sering kita jumpai suami isteri mengeluh dan mengadu kepada orang lain ataupun kepada keluarganya, akibat karena tidak terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau tidak dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau karena alasan lain yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan di antara kedua suami isteri tersebut. Tidak mustahil dari perselisihan itu akan berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan (perceraian).

Salah satu alasan atau sebab dimungkinkannya perceraian adalah syiqaq (perselisihan/pertengkaran yang berlarut-larut antara suami isteri). Namun jauh sebelumnya dalam Al-Qur’an surah an-Nisaa ayat 35, Allah SWT., telah memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam  dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu cara menyelesaikan perselisihan/pertengkaran antara suami isteri, yaitu dengan jalan mengirim seorang hakam selaku “mediator” dari kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut.

Mediasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa “non litigasi”, yaitu penyelesaian yang dilakukan di luar jalur Mahkamah (pengadilan). Namun tidak selamanya proses penyelesaian sengketa secara mediasi, murni ditempuh di luar jalur Mahkamah (pengadilan). Salah satu contohnya, yaitu pada sengketa perceraian dengan alasan atau atas dasar syiqaq, dimana cara mediasi dalam masalah ini tidak lagi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tetapi ia juga merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan.

Untuk mengetahui pentingnya peranan hakam dalam ikut menyelesaikan sengketa perceraian, maka tak berlebihan kiranya apabila beberapa istilah-istilah pokok dalam makalah ini perlu penjelasan secara proporsional,  agar pemahaman yang komprehensif, utuh dan bermakna sehingga dapat diperoleh kejelasan pemahaman terhadap hal-hal yang akan dibahas. Pemahaman demikian sangat signifikan adanya sebab tiap istilah dalam suatu kajian terkait erat dengan teksnya untuk kemudahan pemahaman terhadap konsep dari istilah yang digunakan, sehingga kontribusinya dapat dimanfaatkan secara jelas bagi ilmu pengetahuan dengan baik.

Pengertian mediasi sebagaimana disebutkan dalam ketentuan umum Perma No. 1 Tahun 2008, adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator;

Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan, guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa, tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian;

Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Syiqaq, berasal dari bahasa Arab “syaqqa” ~ “yasyuqqu” ~ “syiqaaq”, yang bermakna “al-inkisaar”, pecah, berhamburan. Sedang “syiqaq” menurut istilah oleh ulama fiqhi diartikan sebagai perpecahan/perselisihan yang terjadi antara suami isteri yang telah berlarut-larut sehingga dibutuhkan perhatian khusus terhadapnya. Sejalan dengan pengertian tersebut “syiqaq” menurut penjelasan pasal 76 (1) UU No. 7/1989 (UU Peradila Agama) adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami isteri.

Hakam menurut penjelasan pasal 76 ayat (2) No. 7/1989 ialah orang yang ditetapkan pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga isteri atau pihak lain untuk mencapai upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq.

Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan tugas hakam sama dengan mediator, karena ia bertugas dan  bertindak sebagai katalisator (pembuat perubahan), keterampilan khususnya diterapkannnya pada pihak yang bersengketa dengan membantu mereka dalam menyelesaiakan perselisihan.

Pengangkatan hakam  dipilih dari keluarga suami dan isteri, satu orang dari pihak keluarga suami dan satu orang dari pihak keluarga isteri, dengan persyaratan jujur dan dapat dipercaya, berpengaruh dan mengesankan, mampu bertindak sebagai juru damai serta orang yang lebih mengetahui keadaan suami isteri, sehingga suami isteri lebih terbuka mengungkapkan rahasia hati mereka masing-masing.

Pengertian hakam yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 76 ayat (2), UU N0. 7 tahun 1989, tampaknya  agak berbeda dengan maksud yang tertulis dalam QS. An-Nisaa ayat  35 yang berbunyi :

وان خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من اهله وحكما من اهلها ان يريدا اصلاحا يوفق الله بينهما ان الله كان عليما خبيرا .

 

Hakam yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an terdiri dari dua orang yang diambil atau dipilih masing-masing satu orang dari keluarga pihak suami isteri. Sedang hakam yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 76 ayat (2) UU N0. 7 Tahun 1989, boleh dari pihak keluarga suami saja, atau dari pihak keluarga isteri saja, bahkan diperbolehkan hakam yang terdiri dari pihak lain. Walaupun dalam UU tersebut diatur demikian, akan tetapi dalam praktek yang dilakukan di Mahkamah Syar’iyah, persis sebagaimana apa disebut dalam Al-Qur-an yaitu diangkat oleh Ketua Majelis Hakim Tingkat Pertama seorang hakam dari pihak keluarga laki-laki dan seorang hakam dari pihak perempuan. Namun demikian, maksud dan tujuan pembuat undang-undang bukanlah untuk menyingkirkan ketentuan surah An-Nisaa : 35, tetapi tujuannya agar rumusan ayat itu dapat dikembangkan menampung problema yang berkembang dalam kehidupan masyarakat dalam batas-batas acuan jiwa dan semangat yang terkandung di dalamnya.

Pengangkatan hakam dalam perkara peceraian atas dasar syiqaq, ialah dilakukan sesudah proses pemeriksaan perkara melewati tahap pemeriksaan saksi, yaitu setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat perselisihan/ pertengkaran, dengan kata lain pengadilan barulah dapat mengangkat hakam setelah pemeriksaan pembuktian selesai diperiksa, saksi-saksi dan alat-alat bukti lain yang diajukan para pihak.

Prosedur demikian didasarkan, bahwa Majelis Hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara seksama apa dan bagaimana perselisihan serta persengketaan suami isteri, dan faktor yang melatar belakangi perselisihan sudah dapat diraba, barulah hakim memberi bekal kepada hakam tentang segala sesuatu yang ditemukan di persidangan untuk dijadikan bahan menjajaki usaha penyelesaian perselisihan/pertengkaran tersebut;

Berdasarkan ketentuan pasal 76 ayat (2), bahwa yang berwenang mengangkat hakam adalah pengadilan, yang pengangkatannya dilakukan oleh Ketua Majelis yang memeriksa perkara. Namun demikian dari segi pendekatan hukum Islam maupun dari segi pendekatan hukum acara perdata, pengusulan hakam datang dari pihak-pihak yang berperkara. Para pihak bebas memutuskan siapa yang mereka ingini menjadi hakam dari pihaknya. Akan tetapi apa yang mereka usulkan, tidak mengikat hakim. Oleh karena demikian, sebaiknya hakim menganjurkan kepada para pihak untuk mengusulkan beberapa orang, serta dalam pengusulan itu dilengkapi dengan biodata masing-masing calon.

Pasal 76 ayat (2) UU No. 7/1989 tidak menyinggung sampai dimana kekuatan mengikat usul hakam kepada hakim dalam menjatuhkan putusan. Barangkali hal itu sesuai dengan fungsi hakam yang tidak dibarengi dengan kewenangan apa pun. Sebagaimana yang sudah disinggung, undang-undang tidak memberikan kewenangan bagi hakam untuk menjatuhkan putusan.

Hakam yang diatur dalam pasal 76 ayat (2) lebih menitikberatkan kewajiban dari pada kewenangan. Hakam wajib berusaha untuk mencari upaya penyelesaian, tapi tidak berwenang memutus dan menyelesaikan sendiri perselisihan perselisihan suami isteri.

Hal ini sejalan dengan sikap hakam yang netral tidak bertindak sebagai seorang hakim, dia tidak mempunyai otoritas untuk menjatuhkan suatu putusan. Hakam  memimpin suatu pemeriksaan tatap muka dengan pihak yang bersengketa dan menggunakan keterampilan khusus tentang bagaimana mendengarkan problem para pihak, keterampilan bertanya, bernegosiasi dan membuat pilihan, membantu para pihak menentukan solusi mereka sendiri terhadap persengketaan mereka.

Penyelesaian sengketa ada dua cara yaitu penyelesaian sengketa dengan cara litigasi (Mahkamah) dan penyelesaian sengketa dengan cara non litigasi, salah satu diantaranya adalah cara “mediasi”, dimana orang yang menjalankannya biasa disebut dengan “hakam (mediator)”, yang sekaligus merupakan substansi dari makalah ini.

Perbedaan mendasar dari kedua cara penyelesaian sengketa tersebut, seperti yang banyak dikenal orang ialah, bahwa cara “litigasi” yaitu cara penyelesaian sengketa secara “formal” (Mahkamah) serta mempunyai prosedur serta aturan-aturan yang mesti dipenuhi. Sedangkan cara penyelesaian “non litigasi” adalah sebaliknya (tidak melalui jalur pengadilan).

Kita tidak akan membicarakan perbedaan keduanya tetapi akan mencoba melihat peranan hakam (mediator) dalam menyelesaiakan sengketa perceraian dengan alasan syiqaq. Dimana mediasi dalam kajian ini tidak lagi berdiri sendiri sebagai wadah atau cara penyelesaian sengketa yang non litigasi, melainkan ia ikut membantu menyelesaikan sengketa melalui proses litigasi, khususnya pada sengketa perceraian dengan alasan terjadinya syiqaq.

Peranan hakam (mediator) dalam sengketa dimaksud sangatlah jelas dan dapat dilihat dari firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat (35), bahwa apabila dikhawatirkan ada perselisihan/pertengkaran antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan untuk membantu menyelesaikannya. Dimana kata hakam dalam ayat tersebut tidak lain melainkan sebagai “mediator”.

Dari makna ayat tersebut, memberikan pemahaman akan pentingnya peran hakam (mediator) dalam ikut membantu menyelesaikan sengketa/perselisihan/pertengkaran yang terjadi antara suami isteri, sebab bukan tidak mungkin, dengan bantuan hakam (mediator) dalam masalah tersebut para pihak akan lebih terbuka untuk membicarakan persoalan yang sebenarnya dengan tanpa adanya tekanan, baik secara fisik maupun psikologis, karena hanya berhadapan dengan hakam (mediator) yang ia yakin dapat membantunya. Situasi seperti ini sangatlah berbeda jika dilakukan di depan orang banyak, dimana tidak menutup kemungkinan masing-masing pihak merasa tidak ingin dikalahkan, dengan saling mengedepankan dan mempertahankan egoisme.

Apabila ditelusuri lebih dalam, ada kalanya para pihak yang berselisih tersebut (suami isteri), salah satu diantara keduanya atau mungkin pula dua-duanya, dalam hati kecilnya masih menginginkan untuk kembali seperti biasa, namun kadang kendalanya, disamping faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, mereka tidak mengetahui serta tidak mampu untuk memulainya.

Inilah mungkin salah satu hikmah diperintahkannya oleh Allah SWT., untuk mengutus hakam (mediator) dalam ikut menyelesaikan perselisihan antara suami isteri, yang sekaligus memperlihatkan kepada kita begitu penting dan mulianya peranan serta tugas dari hakam (mediator) tersebut dalam berusaha mendamaikan keduanya.

Peranan hakam (mediator) yang cukup besar, dapat juga dilihat dalam penjelasan pasal 76 ayat (2) UU No. 7/1989, dimana pengangkatan hakam (mediator) dalam perkara perceraian atas dasar syiqaq, dilakukan sesudah proses pemeriksaan saksi serta alat-alat bukti yang diajukan para pihak. Setelah hakim mendapat gambaran secara seksama apa dan bagaimana perselisihan serta persengketaan suami isteri dan faktor yang mempengaruhinya, dan berpendapat bahwa ada kemungkinan bisa didamaikan melalui hakam (mediator) yang dekat dan berpengaruh kepada suami isteri. Peranan hakam (mediator) sangat berguna dalam ikut membantu, memberikan masukan serta pertimbangan pada pengadilan atau hakim guna untuk memutuskan dan menyelesaikan perselisihan yang terjadi.

Yang dimaksud dengan kewenangan hakam (mediator) dalam menyelesaikan sengketa perceraian atas dasar syiqaq, tidak lain adalah kewenangan hakam (mediator) untuk memberikan data kepada hakim untuk penjatuhkan putusan. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kerangka teori sebelumnya, bahwa pendapat hakam (mediator) tidak mengikat hakim dalam menjatuhkan putusan. Undang-undang dalam hal ini juga tidak memberikan kewenangan bagi hakam (mediator) untuk menjatuhkan putusan.

Hakam (mediator) yang diatur dalam pasal 76 ayat (2) lebih dititikberatkan pada kewajiban dari pada kewenangan. Hakam (mediator) wajib berusaha untuk mencari upaya penyelesaian, tapi tidak berwenang memutus dan menyelesaikan sendiri perselisihan perselisihan suami isteri. Sesuai fungsinya dan peranannya, hukum memberikan kepada hakam (mediator) hak mengusulkan atau mengajukan pendapat kepada hakim yang mengangkatnya, dan tidak mengikat bagi hakim. Dalam hal ini tampaknya undang-undang memberikan kebebasan yang sepenuhnya kepada hakim untuk menilai usulan dari hakam (mediator).

Namun walaupun hakim tidak terikat terhadap keputusan hakam (mediator), tetapi kalau usul yang diajukan tersebut didukung oleh alasan-alasan yang logis dan masuk akal, kiranya kurang bijaksana rasanya apabila hakim mengabaikannya, sekurang-kurangnya usulan pendapat hakam (mediator) harus diperhatikan hakim dalam mengambil putusan.

Kita yakin, bahwa dengan acuan-acuan penerapan yang ada, hakim tidak akan menelan begitu saja pendapat dan usul hakam (mediator). Apalagi bertitik tolak dari asumsi tentang adanya kemungkinan hakam (mediator) yang ceroboh dalam mengambil kesimpulan mengusulkan perdamaian sekalipun tidak didukung oleh dasar alasan yang benar, dengan sendirinya kurang dapat dipertanggung jawabkan rasanya apabila hakim tutup mata dalam menerima usul tersebut begitu saja.

Terakhir sebagai kesimpulan bahwa peranan hakam (mediator) dalam penyelesaian sengketa perceraian atas dasar syiqaq, sangatlah bermanfaat dan berarti dalam memberi masukan pada hakim guna ikut menyelesaiakan perselisihan yang terjadi.

Kewenangan hakam (mediator) dalam penyelesaian sengketa perceraian hanya sebatas memberikan usulan pendapat dan pertimbangan dari hasil yang telah dilakukan kepada hakim, dan undang-undang tidak memberikan kewenangan kepadanya untuk menjatuhkan putusan.