Membangun Aceh Tanpa Narkoba (Memperingati HANI 26 Juni 2010)

oleh: Sumadi Arsyah

MELALUI peringatan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) setiap tanggal 26 Juni, kita patut merenung kembali mencari upaya bijaksana dalam memerangi narkotika. Sebab, peredaran narkoba dan berbagai jenis-jenis obat terlarang (drug addiction) termasuk ganja di Aceh, dewasa ini sudah sangat mencemaskan kita. Mencemaskan karena jaringan peredaran barang haram tersebut telah merambah ke segala lini kehidupan masyarakat tanpa mengenal batas usia. Dan, yang paling merisaukan kita adalah yang menjadi sasaran utama dari pengedaran narkoba merupakan generasi muda sebagai pemegang tongkat estafet Aceh Baru, generasi yang pada suatu saat akan memimpin kendali negeri ini.

Di Indonesia produksi dan peredaran narkoba sudah sangat mengkhawatirkan. Mengkhawatirkan karena dampak yang ditimbulkan akibat dari penyalahgunaan narkoba sangatlah besar, dimana tidak hanya merusak kesehatan baik jasmani dan mental, tetapi juga merusak dimensi ekonomi, sosial, dan budaya. Secara medis misalnya, orang yang mengonsumsi narkoba seperti ganja akan memperlihatkan perubahan mental dan perilaku abnormal seperti terjadinya halusinasi, disorientasi ruang dan waktu, apatis dan perilaku maladaptif lainnya. Secara ekonomi bahaya narkoba akan berdampak pada meningkatnya biaya kesehatan, begitu juga secara sosial akan berdampak pada meningkatnya gangguan ketertiban dan keamanan. Sementara secara kultural dan budaya akan merusak tatanan perilaku dan norma-norma yang ada dalam masyarakat.

Begitu juga, bila ditinjau dari sisi sosiologi hukum bahwa penyalahgunaan narkoba sudah dianggap suatu bentuk perilaku menyimpang. Menyimpang karena dinilai tidak sesuai dengan perasaan moralitas yang ada dalam masyarakat. Pergeseran perilaku seperti itu mau tidak mau akan memengaruhi pada aspek kehidupan. Pada anak-anak dan remaja misalnya, mereka akan kebingungan dalam membuat batasan-batasan yang jelas antara baik-buruk, benar-salah, atau normal-tidak normal. Apalagi ada klaim dari sebagian orang Aceh, yang menyatakan bahwa secara syariat ganja itu tidak termasuk barang yang diharamkan. Padahal Islam dengan tegas menyatakan bahwa “minuman keras dan obat-obat terlarang lebih banyak memberi penderitaan dari pada memberikan manfaat bagi penggunanya. Bahkan dalam sebuah kaidah syar’iyah menyebutkan; “Laa dharara walaa dhiraara,” tak boleh membahayakan diri sendiri dan apalagi orang lain. Kaidah ini oleh sebagian ulama berpendapat ini merupakan sebagai bentuk perhatian Islam dalam rangka melindungi umat manusia dari kerusakan jiwa, akal, dan harta benda.

Nah, dalam kaitanya dengan judul tulisan ini yaitu, “Membangun Aceh Tanpa Narkoba” khususnya ganja tentu bukan pekerjaan mudah, tetapi membutuhkan pencermatan terhadap karakteristik masyarakat baik terhadap orang-orang yang menanam dan pengguna narkoba sekaligus tindakan yang melatarbelakanginya. Karena beberapa studi yang pernah dilakukan, karakteristik pengguna narkoba biasanya adalah orang-orang yang “bermasalah”. Bermasalah di sini artinya mereka memiliki beban mental dan kejiwaan yang menurut mereka sangat berat dan sulit untuk ditanggung, terutama dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Karut-marutnya dan lemahnya penanganan sektor ekonomi dan sempitnya lapangan kerja di Aceh, dianggap menjadi salah satu faktor yang membuat sebagian masyarakat masih termotivasi untuk menanam ganja dan rela menjadi pegedar, daun haram” tersebut yang hingga saat ini masih eksis di beberapa wilayah di Aceh. Nah, kalau persoalan ekonomi menjadi salah satu indikator belum bebasnya Aceh dari ganja merupakan PR bagi kita semua, terutama bagi pemerintah Aceh termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sebagai wakil rakyat.

Namun, terlepas dari PR-PR tersebut. Sebagai langkah antisipasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba di Aceh tidak semakin meluas. Paling tidak ada tiga langkah sebagai bentuk partisipasi yang dapat kita lakukan terus-menerus sejak dini. Pertama, pada lingkup individu setiap orang harus meyakinkan dirinya bahwa ditinjau dari sudut mana pun, mengkonsumsi narkoba jauh lebih besar kerusakannya dari pada kebaikannya. Setiap orang harus sadar bahwa menghadapi masalah hidup dengan cara menanam ganja atau mengonsumsi narkoba bukan jalan penyelesaian masalah, justru akan melahirkan masalah-masalah baru yang lebih besar di kemudian hari baik bagi diri-sendiri dan keluarga. Kedua, pada lingkungan keluarga, setiap orang tua harus semaksimal mungkin memberikan kasih sayang yang cukup terhadap para remajanya. Sebagai pimpinan rumah tangga, orang tua tidak boleh cepat marah apalagi main pukul tatkala sang remaja melakukan kesalahan baik dalam tutur kata, sikap, maupun perbuatannya. Setiap orang tua hendaknya bisa bersikap demokratis dan komunikatif terhadap anak-anaknya serta sedapat mungkin memposisikan anak sebagai insan yang membutuhkan penghargaan dan perhatian baik terhadap kebutuhan fisiknya maupun psikisnya, sehingga masing-masing di antara anggota keluarga merasakan aroma baiti jannati (rumahku adalah surgaku).

Ketiga, pada lingkungan masyarakat hendaknya harus jadikan sebagai momentum dalam rangka mempertegas peran dan tugas moral dengan memaksimalkan amar makruf nahi mungkar yang merupakan kewajiban semua umat. Oleh karena itu, semua masyarakat Aceh perlu bersikap tegas dan konsisten terhadap upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba, terutama di lingkungan kita masing-masing. Di tingkat gampong misalnya keuchik, imuem meunasah, tuha peut, tokoh adat, dan tokoh pemuda hendaknya bisa menjadi garda terdepan dalam pemberantasan narkoba di Aceh. Untuk itu, ke depan sinergi antarkelompok masyarakat, pemerintah Aceh, eksekutif (DPRA) dan aparat penegak hukum yang sudah berjalan baik selama ini hendaknya terus ditingkatkan baik dalam berpikir dan bertindak termasuk dalam membuat regulasi anggaran. Menurut penulis, melihat dari tanggungjawab yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka idealnya dalam rangka memaksimalkan upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika di Aceh, sebagai salah satu daerah produkser ganja terbesar di Asia Tenggara, maka jumlah anggaran yang realitis untuk Badan Narkotika Provinsi (BNP) Aceh adalah 40 milyar rupiah pertahun.

Dengan kalkulasi setiap Badan Narkotika kabupaten/kota (BNK) di seluruh Aceh mendapatkan dukungan dana operasional minimal 1 miliar rupiah. Apabila jumlah ideal ini dapat terpenuhi dalam jangka waktu 5 tahun berturut-turut, maka harapan dan cita-cita Aceh Bebas Narkotika pada tahun 2015 menuju masyarakat “Hidup Sehat Tanpa Narkoba” yang juga harapan dan cita-cita seluruh bangsa-bangsa di dunia saat ini, dapat terwujud di tanah Sultan Iskandar Muda.

* Sumadi Arsyah adalah Bidang Program Badan Narkotika Provinsi (BNP) Aceh.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*