Zakat, Instrumen Fiskal Islami

oleh : SHAFWAN BENDADEH (opini Serambi Indonesia 11-6-2010)
PADA masa awal Islam, zakat merupakan kutipan wajib yang diambil dari masyarakat untuk membiayai pengeluaran negara pada waktu itu. Dalam perkembangannya, zakat mengalami kestatisan karena terlanjur dibakukan sehingga tidak dapat beradaptasi dengan perkembangan perekonomian umat.

Akibatnya, untuk pembiayaan kebutuhan negara ditariklah pajak dari masyarakat karena bersifat dinamis dan dapat diatur pelembagaannya oleh pemerintah sesuai dengan tujuan-tujuan pembangunan ekonomi yang telah disusun pemerintah. Pengembalian zakat ke khittah awal dapat dilakukan dengan merumuskan kembali konsep zakat dalam ekonomi Islam.

Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan bagaimana pengintegrasikan zakat ke dalam kebijakan fiskal. Pembahasan ini menjadi penting karena kebanyakan penulisan tentang zakat selalu dihadapkan secara diametral dengan pajak sehingga persoalan dikotomi zakat dan pajak terus berlarut-larut. Tulisan ini juga akan mendiskusikan kedudukan zakat jika diadopsi sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal.

Kebijakan Fiskal
Dalam ekonomi konvensional kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam pembelanjaan. Tujuan kebijakan fiskal dalam perekonomian sekuler adalah tercapainya kesejahteraan, yang didefinisikan sebagai adanya benefit (keuntungan) maksimal bagi individu dalam kehidupan tanpa memandang kebutuhan spiritual manusia. Sedangkan dalam negara Islam, kebijaksanaan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah, termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan, dan kepemilikan.

Boleh dikatakan, kebijakan fiskal memegang peranan penting dalam sistem ekonomi Islam bila dibandingkan kebijakan moneter. Adanya larangan tentang riba serta kewajiban pengeluaran zakat menyiratkan tentang pentingnya kedudukan kebijakan fiskal dibandingkan dengan kebijakan moneter.

Pada masa kenabian dan kekhalifahan, kaum muslimin cukup berpengalaman dalam menerapkan berbagai instrumen sebagai kebijakan fiskal, yang diselenggarakan pada lembaga Baitul Mal (national treasury). Dari berbagai macam instrumen, pajak diterapkan pada individu (jizyah dan pajak khusus muslim), tanah kharaj, dan ushur (cukai) atas barang impor dari negara yang mengenakan cukai terhadap pedangang kaum muslimin, sehingga tidak memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat. Pada saat perekonomian sedang kritis yang membawa dampak terhadap keuangan negara karena sumber-sumber penerimaan terutama pajak merosot seiring dengan merosotnya aktivitas ekonomi maka kewajiban-kewajiban tersebut beralih kepada kaum muslimin.

Seperti krisis ekonomi yang menyebabkan warga negara jatuh miskin otomatis mereka tidak dikenali beban pajak baik jizyah maupun pajak atas orang Islam, sebaliknya mereka akan disantuni negara dengan biaya yang diambil dari orang-orang muslim yang kaya. Setelah zaman pertengahan, seiring dengan kemunduran-kemunduran dalam pemerintahan Islam yang ada pada waktu itu, maka kebijakan fiskal Islami tersebut sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan dan diganti dengan kebijakan lainnya dari sistem ekonomi sekarang yang kita kenal dengan nama sistem ekonomi konvensional. Sebenarnya dalam konsep ekonomi Islam, kebijaksanaan fiskal bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama.

Peranan Zakat
Zakat semerta-merta tidak diadopsi dalam sistem ketatanegaraan di negara kita, hal ini akan menyebabkan kehilangan kekuatan untuk menjalankan program kesejahteraan. Menghilangnya religiolitas dari panggung ketatanegaraan serta merta mengadopsi sekularisme dan materialisme yang tidak dipahami mendorong moralitas yang bobrok.  Korupsi yang berupa perlawanan terhadap aturan legal mark up, penyelewengan, pembobolan, komisi, dan sebagainya sangat mencoreng dan memalukan dunia Islam. Korupsi yang legal menyangkut angka yang lebih besar lagi yaitu tidak dipahaminya visi dan misi pemerintahan dengan baik. Akibatnya 70 persen dana negara secara legal tidak ditujukan kepada pelayanan dan kesejahteraan rakyat. Dana-dana ini diizinkan secara legal untuk digunakan secara elitis dan bias kepada kekuasaan.

Tujuan utama dari kegiatan zakat itu sendiri-berdasarkan sudut pandang sistem ekonomi pasar-adalah menciptakan distribusi pendapatan yang merata. Selain untuk tujuan distribusi, maka analisis kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi pasar dilakukan untuk melihat bagaimana dampak dari zakat terhadap kegiatan alokasi sumber daya ekonomi dan stabilisasi kegiatan ekonomi. Zakat dalam sistem perekonomian konvensional bukan merupakan suatu variabel utama dalam struktur tiori yang ada.

Dalam struktur ekonomi konvensional, unsur pertama dalam kebijakan fiskal adalah unsur-unsur yang berasal dari berbagai jenis pajak sebagai sumber penerimaan pemerintah dan unsur-unsur yang berkaitan dengan variabel pengeluaran pemerintah. Tidak ada unsur zakat dalam data Anggaran Pendapatan dan Belajan Pemerintah (APBN), karena memang kegiatan zakat belum masuk dalam catatan resmi statistik pemerintah. Pelaksanaan zakat selama ini lebih merupakan kegiatan masyarakat yang ingin menyucikan hartanya. Untuk itu, diperlukan berbagai macam penelitian yang berkaitan dengan dampak alokasi, distribusi serta stabilisasi kegiatan zakat sebagai salah satu unsur kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi Islam.

Selain itu, mengapa dampak ekonomi zakat masih kecil, selama ini zakat belum dikelola secara baik dan professional disamping masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk berzakat secara benar. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi kegiatan lembaga zakat ini di masyarakat dan ini jelas memerlukan kerja keras dari berbagai unsur kealian.

Alhamdulillah, sekarang ini sudah mulai muncul usaha-usaha untuk mengelola kegiatan zakat dengan baik khususnya di Aceh. Potensi zakat ini jika digarap dengan baik, akan menjadi sumber pendanaan yang sangat besar, sehingga dapat menjadi kekuatan pendorong pemberdayaan ekonomi umat dan pemerataan pendapatan sehingga ujung dari semua itu akan bermuara pada meningkatnya taraf perekonomian umat.

* Penulis adalah Mahasiswa Postgraduate of Islamic Studies, Syariah & Economics, University of Malaya, Kuala Lumpur.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*