Sekolah Berbasis Pesantren

Oleh : Denni Iskandar, M.Pd

MENGHADAPI kehidupan global yang semakin sulit dikendalikan, berbagai kalangan, khususnya para orangtua, mulai resah dengan perkembangan (jiwa) anak-anak mereka. Dari berbagai persoalan, yang paling merisaukan adalah kehidupan susila atau sex bebas para remaja. Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) M Masri Muadz menyatakan, berdasarkan hasil survei perusahaan kondom pada 2005 di hampir semua kota besar di Indonesia (Sabang-Merauke), tercatat sekitar 40%-45% remaja antara 14-24 tahun menyatakan secara terbuka mereka telah berhubungan seks pranikah.
Bahkan, data BKKBN menunjukkan 60% remaja sudah ingin mendapatkan pelayanan KB. Padahal, secara aturan, ini melanggar hukum karena alat kontrasepsi hanya boleh diberikan kepada pasangan yang menikah (Sindo, 10-5-2007). Lebih jauh data BKKBN menjelaskan persoalan seks bebas berkaitan erat dengan persoalan narkoba dan HIV/AIDS. Total jumlah pasangan usia subur sebesar 15% dari total populasi. Jumlah remaja sekitar 20% atau 60 juta orang. Sementara itu, penderita HIV/AIDS, tercatat saat ini sejumlah 8.988 kasus AIDS dan 5.640 kasus HIV positif di Tanah Air.
Fatalnya, sekitar 8 ribu atau 57,1% kasus HIV/AIDS terjadi pada remaja antara 15-29 tahun (37,8% terinfeksi melalui hubungan seks yang tidak aman dan 62,2% terinfeksi melalui penggunaan narkoba jarum suntik). Angka temuan penyakit menular mematikan itu masih jauh dari angka sebenarnya. Diperkirakan, angka riil pengidapnya adalah angka temuan dikalikan 1.000 atau sekitar 14,5 juta orang. Sekitar 8 juta di antaranya adalah remaja. Berdasarkan data Badan Nasional Narkotika (BNN), sebanyak 2,3 juta orang sudah mengonsumsi narkoba dan sebanyak 78%-nya adalah remaja.
Kebebasan seks kian terasa setelah internet hadir di tengah-tengah kita pertengahan 1990-an, kemudian diikuti lagi teknologi telepon seluler lengkap dengan media facebook yang kian canggih. Keduanya memberikan fasilitas baru bagi pergaulan yang nyaris tanpa sekat. Internet bukan cuma menampilkan gambar-gambar seronok lewat situs-situs pornonya, juga menjadi media untuk mencari kawan baru dengan semangat mesum. Sungguh celaka lagi jika para remaja mungkin mengidentikkan kebebasan seks dengan pergaulan modern. Ironis sekali kalau kehadiran teknologi yang serba modern saat ini yang seharusnya bisa dijadikan sebagai saluran informasi untuk menambah ilmu pengetahuan, malah dijadikan alat untuk melampiaskan syahwat dan perilaku menyimpang lainnya oleh para remaja, sungguh mengerikan!!!
Sekelumit ilustrasi di atas cukup bagi kita untuk menyimpulkan bahwa kehidupan sosial kita sedang sakit. Perilaku remaja  sebagai bagian dari pranata sosial tidak bisa dilepaskan dari “sistem pendidikan” yang memproduksinya. Menghadapi moral remaja yang cendrung terus terdegradasi, Kementerian Pendidikan Nasional, khususnya Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama (SMP), mulai tahun 2010 ini meluncurkan progam SMP Berbasis Pesantren (SBP) dan di Pulau Jawa sudah mulai diujicobakan pada beberapa sekolah. Sebagai konsultan di Dinas Pendidikan Aceh, saya berkesempatan mengikuti diskusi program tersebut yang dilaksanakan akhir tahun 2009 lalu di Jakarta.

Dalam diskusi itu terungkap bahwa menghadapi kehidupan masa depan yang semakin kompetitif dan kompleks diperlukan sebuah model pendidikan yang mampu mengintegrasikan  kecerdasan spritual keagamaan, emosional-moralitas, kecakapan hidup, serta berwatak plural dan multikultural. SBP diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam mengerem erosi moral para remaja.    Pilihan memadukan sistem sekolah dan pesantren ini diambil setelah melihat dan mengamati secara seksama mutu pendidikan yang dilahirkan oleh masing-masing sistem.

Sekolah dan pesantren merupakan dua satuan pendidikan yang memiliki keunggulan berbeda. Bila mereka berjalan sendiri-sendiri, ada potensi dan kekuatan pendidikan yang terbuang sia-sia. Bila keduanya dapat disatukan akan lahir sebuah kekuatan pendidikan yang komprehensif.

Sistem Sekolah
Proses pendidikan di sekolah mencakup dimensi (1) pendidikan (sikap, pengetahuan dan keterampilan, (2) peran seleksi sosial yang mencakup pemberian legalitas (ijazah/sertifikat) dan seleksi terhadap peluang kerja, (3) pembinaan peserta didik, dan (4) aktivitas kemasyarakatan. Sekolah memiliki keunggulan dalam pengembangan peserta didik karena didukung oleh sistem berjenjang, program didesain secara hierarkis dan sistematis, serta adanya standarisasi pencapaian keberhasilan pendidikan. Peserta didik juga mendapatkan materi terstruktur, faktual, dan dibutuhkan dalam dunia kerja, sehingga sekolah memberikan kontribusi bagi pembentukan dan pengembangan SDM berkualitas. Sekolah menjadi barometer untuk menyebutkan seseorang berpendidikan atau tidak.

Keunggulan lain sistem sekolah adalah (1) kurikulum yang dinamis dan fleksibel ditandai dengan bahan ajar yang disusun secara sitematis sesuai dengan komptensi yang ingin dicapai, strategi dan model pembelajaran variatif yang berorientasi pada efetivitas dan efisiensi; (2) pendidik memiliki kualifikasi dan kompetensi yang terukur; (3) sarana dan prasarana lebih memadai; dan (4) manajemen yang lebih profesional.

Sistem Pesantren
Sebagai satuan pendidikan nonformal keagamaan, pesantren (dayah) dikenal sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam asli dan tertua di Indonesia. Pesantren dimaknai sebagai “tempat belajar santri”. Fakta sejarah menunjukkan pesantren sudah ada di Indonesia jauh sebelum datang Islam yang digunakan sebagai tempat belajar agama Hindu-Budha dalam membina kader-kader penyebar agama. Pesantren bukan sekedar tradisi Islam karena tidak ditemukan lembaga pesantren di negara-negara Islam selain Indonesia, sementara lembaga serupa banyak ditemukan di dalam masyarakat Hindu dan budha di India, Myanmar, dan Thailand. Dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan pesantren dipercayai sebagai bentuk pendidikan asli Indonesia, yang lahir melalui proses akulturasi berbagai kebudayaan Indonesia.

Pesantren paling tidak memiliki 5 komponen dasar, yakni kiayi (tengku), santri, masjid, pondok (asrama) dan kitab kuning (klasik). Kelima komponen itu memiliki fungsi masing-masing yang membedakannya dengan satuan pendidikan lainnya.

Keunggulan pesantren antara lain (1) Misi pendidikan lebih banyak ditekankan pada aspek moralitas dan pembinaan kepribadian. (2) Kultur kemandirian dalam interaksi sosial. (3) Penguasaan literatur klasik yang sarat dengan nilai dan pesan moral yang berguna bagi pengembangan peradaban yang beretika. (4) Kharisma kyai sebagai manajer dan pengasuh lembaga pesantren menjadikan panutan dan teladan dalam kehidupan sehari-hari. (5) Hubungan kyai dan santri yang bersifat kekeluargaan dengan kepatuhan yang tinggi.

Memadukan Keunggulan
Keunggulan pada masing-masing satuan pendidikan tersebut akan semakin berarti, jika keduanya diintegrasikan ke dalam satu model satuan pendidikan yang dikelola secara terpadu. Prinsip dasar SBP adalah pengintegrasian berbagai kecerdasan sebagai upaya pembentukan multiple intelegence peserta didik agar memiliki kemampuan akal (pikir), kemampuan spritual (zikir dan qalbu), dan kemampuan untuk melakukan sesuatu atas dasar keterampilan dan profesionalitas. SBP akan memfasilitasi tumbuhnya kesadaran akan pluralitas dan berkembangnya nilai-nilai multikultur yang mengedepankan toleransi (tasamuh) tolong-menolong (ta’awun), dan menghargai perbedaan. SBP mengintegrasikan kebenaran nash (Al-Quran dan hadis) dengan kebenaran sains (IPTEK). Jika prinsip pesantren dapat mewarnai sekolah hal yang menarik adalah dimasukkannya “Penguasaan Kitab Kuning” dalam kurikulum. Kitab kuning berisi naskah-naskah klasik yang sarat dengan nilai, sejarah, tauladan dan ajaran-ajaran agama yang dapat memupuk sikap santun dan beradab.

SBP sangat relevan di Aceh dan sejalan dengan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, Bab III pasal 5 ayat 2 “Sistem pendidikan nasional yang diselenggarakan di Aceh didasarkan pada nilai-nilai islami”. Saat ini di Aceh sudah ada sejumlah pesantren (dayah) terpadu, meskipun persentasenya  kecil. Dengan adanya program SBP sebagai produk nasional tentu terbuka bagi Aceh untuk menerapkan SBP pada semua sekolah (SD, SMP, SMA). Untuk mendukung ini, Kementerian Pendidikan Nasional sudah menerbitkan Buku Panduan Pelaksanaan Sekolah Berbasis Pesantren  khususnya untuk jenjang SMP. Pengembangan pendidikan SBP sesungguhnya merupakan ijtihad dalam konteks melahirkan manusia yang bertaqwa kepada Allah Swt. Pengembangan model SBP tentu saja tidak sebagai “obat mujarab” atau satu-satunya alternatif dalam upaya mengendalikan prilaku negatif remaja. Namun, paling tidak SBP dapat dijadikan sebagai kontribusi monumental dalam rangka pengembangan manusia handal yang memiliki intelektual quetient, spiritual quetient, dan emotional quetient serta berwatak multikultural. Kebersamaan dan dukungan semua pihak (pemerintah, masyarakat, stakeholders, user, praktisi pendidikan, akademisi dan peneliti) akan sangat menentukan program SBP bisa sukses diimplementasikan.

* Denni Iskandar, M.Pd. adalah  Dosen FKIP Unsyiah

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*