Nikah Sirri dan Nikah Kontrak Rugikan Perempuan

Salah satu tantangan bagi Kantor Urusan Agama sebagai pencatat pernikahan di tanah air adalah masih adanya masyarakat yang melakukan nikah kontrak dan pernikahan dibawah tangan alias nikah sirri. Sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai buku nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Demikian dikemukakan Drs Zamhari Hasan MM saat menyampaikan orasi ilmiah pada pengukuhan sebagai widyaiswara utama Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan Departemen Agama di Jakarta, Selasa (12/5). Sidang pengukuhan dipimpin Kepala Badan Litbang dan Diklat Depag Prof Dr Atho Mudzhar, dihadiri Deputi Bidang Pembinaan Aparatur Lembaga Administrasi Negara Prof Dr Endang W. Sri Lestari.

Nikah sirri dikenal muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan.

Menurut Zamhari, pernikahan sirri biasanya terjadi untuk nikah kedua dan seterusnya, karena untuk mendapatkan izin dari isteri pertama sangat sulit. “Pernikahan seperti ini jelas tidak punya kepastian hukum atau tidak punya kekuatan hukum yang paling dirugikan adalah wanita,” ujarnya.

Adapun nikah kontrak, kata Zamhari, yaitu nikah yang dibatasi oleh waktu. Apabila habis waktunya maka bubarlah perkawinan tersebut. Kejadian ini dilakukan oleh orang asing yang datang ke Indonesia tidak bersama istrinya. Kalau pernikahan terjadi, pernikahan tersebut sudah pasti tidak tercatat, tidak mempunyai kekuatan hukum yang pada akhirnya yang dirugikan adalah pihak perempuan.

Ia juga mengungkapkan masalah lain dalam peristiwa pernikahan di tanah air, yaitu calon penganten yang tidak datang sendiri ke KUA untuk pendaftaran nikah, dengan berbagai alasan, mereka menggunakan jasa calo, sehingga informasi yang diberikan oleh calo itu bisa menyesatkan seperti biaya nikah mahal.

Akibat masyarakat yang tidak datang sendiri ke KUA juga berdampak pasangan nikah memperoleh buku nikah palsu. “Biasanya ini terungkap apabila para pihak ada masalah seperti akan terjadi perceraian ke Pengadilan Agama atau ke Kantor Catatan Sipil, ketika mengurus akte kelahiran atau saat konsultasi ke KUA,” ungkapnya.

Guna mengatasi masalah tersebut, menurut Zamhari, perlu dilakukan pembinaan, pengawasan dan penyuluhan terhadap praktek penghulu liar serta nikah dibawah dibawah tangan dan nikah kontrak. Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan SDM para penghulu, karena pendidikan dan pelatihan menjadi salah satu pilihan untuk meningkatkan optimalisasi para penghulu dalam pelayanan masyarakat.(ks/hf)

Ditulis oleh Hukmas & KUB Kanwil Depag Prop. DKI Jakarta Jumat, 22 Mei 2009 12:58 di http://www.kanwildepag-dki.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*