Sebelum Anak Terlanjur Cerdas

oleh : Abu Khaulah Zainal Abidin

Terlanjur cerdas ? Cerdas koq bisa terlanjur ? Bukankah setiap orang mendambakan anaknya cerdas ? Apalagi kata “terlanjur” konotasinya jelek . -suatu yang tidak diharapkan-, seperti; terlanjur basah, terlanjur jatuh, atau terlanjur menjadi bubur,

Anak cerdas, siapa tak mau ? Tetapi itu bukan segala-galanya. Terlebih kalau ia dijadikan dasar bagi segala pertimbangan, mengalahkan bekal-bekal hidup lainnya yang mutlak dimiliki setiap manusia. Apalagi jika yang dimaksud cerdas itu tak lebih dari sebentuk kemampuan menalar, memahami, dan menarik kesimpulan, atau sekedar mampu berpikir logis , menemukan dan memecahkan jawaban-jawaban matematis.

Bahkan sekalipun kecerdasan itu -juga- meliputi kemampuan mengenal dan mengelola perasaan diri, yang dengannya seseorang mampu memahami kemudian merespon orang lain melalui sikap dan tindakan. Sejenis potensi -yang menurut teori Emotional Quotient (EQ)-nya Goleman- berupa kecerdasan emosional, yang berfungsi mengimbangi kecerdasan intelektual!

Bahkan sekalipun kecerdasan itu -juga- berupa kemampuan memahami akan nilai-nilai dan makna kehidupan, menumbuhkan harapan-harapan serta keyakinan. Sejenis potensi -yang menurut teori Spiritual Quotient (SQ)-nya Danah Zohar dan Ian Marshall- berupa kecerdasan spiritual, yang berfungsi mengimbangi bahkan mengendalikan kecerdasan intelektual dan emosional sekaligus !

  • Latih Mereka Menjadi Orang Yang Amanah

Sesungguhnya amanah dan sifat-sifat yang menyertainya, seperti jujur, menepati janji, dan tidak khianat merupakan dasar dari segala bentuk tanggung-jawab pada setiap pribadi -sebagai apapun dia-. Karena jujur dan bersifat amanah adalah awal dan modal dasar bagi seseorang di dalam hidup bermasyarakat. Untuk mengemban inilah ALLAH –Subhaanahu wa ta’alaa- menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْأِنْسَانُ

إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً (الأحزاب:72)

(Sesungguhnya, telah Kami kemukakan amanat kepada langit, bumi ,dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu, khawatir akan mengkhianatinya. Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh) (Al Ahzab: 72)

Melalui ayat di atas, tampaklah bahwa Amanah -berupa keta’atan dan kejujuran- adalah sesuatu yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa bebankan kepada manusia, namun manusia menganggapnya sebagai suatu perkara yang sepele. Karena itu ALLAH Subhaanahu wa ta’alla mencap manusia sebagai makhluq yang zalim dan bodoh. Artinya, menyepelekan perkara amanah merupakan satu di antara bentuk kezaliman. Dan seorang yang tidak amanah hanya mungkin cerdas dalam pandangan manusia, namun tidak dalam pandangan ALLAH.

Maka apa jadinya kecerdasan itu jika tidak dibarengi dengan kejujuran dan sifat amanah. Bukankah kezaliman yang ditimbulkannya akan menjadi berlipat ganda dibanding apabila tak disertai kecerdasan. Dengan kepandaian berbicara serta mengelola mimik dan tingkah laku secara meyakinkan -sebagaimana pemain sandiwara-, si cerdas tadi mengelabui manusia, menciptakan berjuta alasan untuk mengingkari janji, dan mengkhianati kepercayaan manusia kepadanya. Semua itu dengan modal kecerdasan.

Maka hendaknya sejak dini pendidikan harus mengutamakan perkara ini. Arti jujur dan amanah sudah harus diperkenalkan sejak pertama kali anak bisa diberi sedikit pengertian, Segala upaya dan sarana yang dapat menanamkan kejujuran dan menumbuhkan sifat amanah harus diciptakan. Dan segala suasana dan sarana yang dapat menghantarkan kepada sifat-sifat bohong, mungkir, dan khianat harus dihilangkan dari segala media pendidikan. Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda:

عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:آية المنافق ثلاث: إذا حدث كذب، وإذا وعد أخلف،

وإذا اؤتمن خان. (البخاري)

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- , dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabada: “Tanda kemunafiqan itu tiga. Jika bicara, dusta. Jika berjanji, ingkar. Jika diamanahi, khianat.” (HR; Al Bukhari)

Melalui Hadits di atas nampak bahwa dusta, ingkar janji, dan khianat berasal dari akar sifat yang sama, yakni munafiq..Karena itu, jika kita mengajari anak berdusta, mengingkari janji, dan mengkhianati amanah, artinya kita telah menanamkan sifat-sifat munafiq pada anak.

Tentu saja tak ada orang tua yang menginginkan anaknya jadi orang munafiq. Tak ada orang tua -yang sehat- merasa atau mengaku telah mengajari anaknya berdusta, terbiasa mengingkari janji, atau mengkhianati amanah. Tentu saja kita semua tidak merasa telah berbuat seperti itu.

Tetapi kenapa dongeng-dongeng khayali yang kita jejali ke telinga mereka sebagai pengantar tidurnya ? Kenapa kita biarkan mereka membaca cerita-cerita fiktif sejak pertama sekali mereka bisa membaca ? Kenapa sandiwara dan sinetron kita biarkan menjadi konsumsi mereka sehari-hari ? Apalagi kalau disertai harapan dapat mengambil pelajaran atau hikmah darinya -seperti kebanyakan orang yang menganggap film atau sandiwara bisa jadi media da’wah. Bukankah itu semua dusta ? Kalau tidak dusta dari sisi cerita, dusta dari sisi peran. Bagaimana mungkin kita mengajarkan nilai kejujuran lewat cara-cara dusta ?

Selain itu, mungkin kita sering mengingkari apa yang kita janjikan kepada anak kita Beli sepeda baru, berlibur ke rumah nenek, atau tamasya ke pantai, yang berulang kali janji tersebut harus kita perbaharui sambil tak lupa mengumbar macam-macam alasan. Menyuruh anak -berbohong- menjawab telepon atau mengatakan kepada tamu di depan rumah , “Papa tidak ada!“, Atau kita pernah ancam mereka, “Awas, jangan kasih tahu Mama!“

Sungguh ternyata kita sendiri lah yang telah membuat anak-anak terbiasa dengan dusta. Ya, ternyata kita sendiri yang menginginkan -tanpa kita sadari- mereka jadi orang munafiq. Ternyata kita sendiri yang mengajari -tanpa kita sadari- mereka suka mengingkari janji dan mengkhianati amanah.

Maka tindakan yang harus ditempuh untuk mencetak anak-anak yang jujur dan amanah adalah meninggalkan cara-cara atau kebiasaan di atas. Selain itu perlu ditempuh upaya-upaya berupa latihan dan pembiasaan guna menanamkan sifat jujur, menepati janji, dan menjaga amanah. Anak perlu dilatih mengemban amanah-amanah yang mampu ia pertanggungjawabkan. Beri kesempatan mereka berjanji dan ajarkan serta mudahkan agar mereka mampu menunaikannya. Berikan sanksi -walaupun ringan- atas pelanggaran janjinya. Ajarkan mereka bersikap jujur serta ceritakan kepada mereka keutamaan bersikap jujur, tetapi bukan melalui dongeng atau cerita fiktif. Sebab -ingat sekali lagi- mustahil menanamkan kejujuran melalui kedustaan. Sampaikan kepada mereka kisah-kisah orang jujur serta buah dari kejujuran, seperti kisah Ka’ab bin Malik –radhiallahu anhu-.

Ya, sebelum anak terlanjur cerdas, hendaknya kita tanamkan pada diri mereka kecenderungan kepada sifat jujur dan menjaga amanah. Sebab, apalah artinya kecerdasan tanpa kejujuran dan sifat amanah. Bukankah kita tidak menghendaki anak kita menjadi orang yang pandai menipu.

  • Biasakan Mereka Bersikap Santun

Manusia adalah makhluq bermasyarakat yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Sopan-santun merupakan sifat mulia yang dapat menimbulkan rasa tenang dan hangat di dalam pergaulan bermasyarakat. Juga merupakan di antara sifat-sifat yang disukai ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah berkata kepada Abdul Qais –radhiallahu anhu– :

“إن فيك خصلتين يحبهما الله: الحلم والأناة”.(رواه مسلم)

Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang dicintai ALLAH. Arif dan santun.” (HR; Muslim)

Sopan-santun adalah sifat yang membuat pemiliknya disukai oleh orang lain, yang dengannya orang lain merasa aman dari lisan dan perbuatannya, sebagaimana sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- :

عن عامر قال: سمعت عبد الله بن عمرو يقول:

قال النبي صلى الله عليه وسلم: المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده، (ألبخاري)

“Muslim (-yang sempurna-) adalah yang orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR: Al Bukhari)

Betapa tidak, dengannya ia akan menjaga lisan dan perbuatannya agar tidak mengganggu atau menyakiti orang lain. Dengannya pula ia bisa menempatkan diri di tengah lingkungannya. Ia mampu bersikap secara tepat di hadapan orang yang lebih tua, orang yang lebih muda, bahkan di hadapan orang-orang selayaknya dia belajar kepadanya. Dan ini merupakan satu di antara tanda-tanda pengikut Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-, sebagaimana sabdanya:

عن عبادة بن الصامت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:

ليس منا من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا

Dari Ubadah ibn Ash-Shaamit, bahwa Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Tidaklah termasuk umatku, mereka yang tidak hormat kepada orang-orang tua kami, tidak sayang kepada orang-orang muda kami, dan tidak mengakui ulama-ulama kami.” (Mustadrak Al Hakim)

Lebih dari itu, santun juga merupakan wujud dari kelembutan hati pemiliknya. Karena mustahil seseorang memiliki sikap santun jika tidak memiliki kelembutan hati. Kelembutan hati lah yang menyebabkan seseorang senantiasa berhati-hati ketika bersikap di hadapan orang lain. Dan ini merupakan sifat yang disukai ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- , sebagaimana yang dikatakan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam– kepada Aisyah –radhiallahu anha

(يا عائشة، إن الله رفيق يحب الرفق في الأمر كله ( متفق عليه

“Ya, Aisyah. Sesungguhnya ALLAH bersifat Lemah-Lembut, menyukai kelemahlembutan di dalam segala perkara. (Muttafaqun Alaih)

Disebabkan santun dan lemah lembut lah akan terjaga persahabatan, bahkan ukhuwah (persaudaraan) dan terlaksana tolong-menolong -”ta’awun alal birri wat taqwa“- , yang mustahil semua itu terjadi tanpa dilandasi sifat-sifat di atas. Yakni sifat yang dapat memperindah dan mempercantik seseorang. Sifat yang membuat sebuah pribadi laku di dalam pergaulan. Sifat yang dengannya ia tidak hanya memikirkan dirinya semata, bahkan senatiasa berupaya sekuat tenaga memberikan kebaikan kapada saudaranya sebagaimana ia harapkan kebaikan itu juga berlaku baginya. Lebih dari itu, dengan sifat tersebut ia mampu memiliki empati terhadap penderitaan saudaranya. Perhatikanlah sabda Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– di bawah ini:

عن أناس بن مالك عن النبي صلىالله عليه وسلم قال: لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه

“Tidak sempurna iman kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya.” (HR: Al Bukhari – Muslim)

عن النعمان بن بشير. قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :

“مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم، مثل الجسد.

إذا اشتكى منه عضو، تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى”.(رواه مسلم)

Dari An-Nu’man bin Basyir -radhiallahu anhu-, berkata, telah bersabda Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- :“Perumpamaan orang-orang mu’min di dalam cinta kasih sayangnya dan keterikatannya seperti jasad yang satu. Apabila sakit salah satu anggota tubuhnya, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan sakitnya dengan panas dan demam.” (HR: Muslim)

Dengan demikian, segala upaya -sarana dan metode apa saja- yang dapat menumbuhkan sifat mulia ini harus ditempuh. Pendidikan sejak dini harus diarahkan untuk menumbuhkan sifat-sifat sopan-santun dan lemah-lembut. Orang tua harus memastikan sifat-sifat ini melekat pada anaknya sebelum anaknya terlanjur cerdas. Do’a, dzikir, shadaqah, menyantuni anak yatim, gotong-royong, atau menolong orang yang kesusahan adalah di antara hal yang dapat melembutkan hati.

Kemudian, hendaknya sejak kecil anak dibimbing bagaimana cara bertutur, duduk, bahkan berjalan di hadapan orang yang lebih tua. Juga bagaimana di hadapan orang yang lebih muda. Kesantunan dan sikap rendah hati mereka juga harus kita perhatikan manakala mereka berjalan dan mengeluarkan suara. Perhatikanlah wasiat Luqman kepada anaknya -sebagaimana yang diabadikan di dalam Al Qur’an- :

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

(Artinya: “Dan sederhanalah di dalam berjalan serta rendahkan suaramu. Karena seburuk-buruk suara adalah suara keledai.”) (Luqman: 19)

Di samping itu, apa saja yang dapat menumbuhkan sifat-sifat sebaliknya, seperti kurang-ajar, tak tahu malu, atau beringas harus dihilangkan dari segala media pendidikan dan pemandangan mereka sehari-hari. Perhatikanlah peringatan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam– akan hal ini:

(ياعائشة ارفقي؛ فإِنَّ الرِّفقَ لم يكن في شىء قطُّ إلا زانه، ولا نزع من شىءٍ قطُّ إلاّ شانه”. (ابو داود

“Ya, A’isyah. Berlemahlembutlah. Karena sesungguhnya tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali ia menjadi penghiasnya. Dan tidaklah kelembutan tercabut dari sesuatu kecuali ia menjadikan sesuatu itu jelek.”

Pada kesempatan lain:

(من يحرم الرفق يحرم الخير (رواه مسلم)

“Siapa yang terhalang untuk bersikap lembut, maka terhalang pula baginya kebaikan.”

Maka untuk itu, jauhkan dari anak penampilan sifat-sifat yang tidak baik, seperti kasar, brutal, sadis, vulgarisme, dan sikap tak punya malu, mulai dari bacaan, tontonan, maupun bentuk-bentuk permainan dan lingkungan pergaulan mereka. Yang kesemua itu lambat laun akan membentuk keperibadiannya. Orang tua harus memastikan tanda-tanda dari sifat-sifat yang tidak baik ini tak ada pada anaknya sebelum anaknya terlanjur cerdas.

Ya, sebelum anak terlanjur cerdas, hendaknya mereka telah terbiasa bersikap santun dan lemah lembut. Sebab apalah artinya kecerdasan jika tidak dibarengi dengan pekerti santun dan lembut hati, bahkan sekalipun anak tersebut jujur. Bukankah kita tak menghendaki mereka menjadi robot; cerdas, jujur, kaku, dingin, dan berpotensi menjadi sadis!!!

  • Didik Mereka Untuk Rajin

Rajin merupakan satu sifat yang sangat dipuji dalam Islam. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- di dalam berbagai ungkapan menjelaskan akan keutamaannya . Di antara lain ucapannya –Shallallahu alaihi wa sallam– adalah:

عن أبي هريرة ؛ قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول:
“لأن يغدو أحدكم فيحطب على ظهره، فيتصدق به ويستغني به من الناس، خير له من أن يسأل رجلا،

أعطاه أو منعه ذلك. فإن اليد العليا أفضل من اليد السفلى. وابدأ بمن تعول”. (رواه مسلم)

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-, berkata: Aku telah mendengar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda: “Sungguh seorang di antara kalian berangkat ke luar mengikat kayu di atas punggungnya dan bersedakah dengannya serta menjaga diri dari manusia itu lebih baik dari pada meminta-minta, diberi ataupun tidak. Karena sesungguhnya tangan yang di atas lebih utama dari pada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari yang menjadi tanggunganmu.” (HR: Muslim)

عن أبي هريرة قال وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كان داود لا يأكل إلا من عمل يده

Sesungguhnya Daud -Alaihissalaam- tidak makan kecuali dari hasil karya tangannya” (HR: Bukhari)

Ungkapan di atas -dan masih banyak lagi yang sema’na- menunjukkan betapa sifat rajin sangat ditekankan di dalam Islam. Syari’at diadakan tidak lain untuk memelihara lima hal. Memelihara agama, aqal, kehormatan, darah, dan harta. Dan rajin merupakan di antara sifat yang harus dimiliki demi menjaga kehormatan diri. Dengan sifat rajin pulalah seorang menjadi pribadi yang berguna bagi diri dan sekitarnya, bukan menjadi cela bagi diri dan beban bagi orang di sekitarnya.

Maka hendaknya segala sarana dan metode yang dapat menumbuhkan sifat rajin pada anak harus diupayakan. Melatih anak untuk bangun pagi, merapihkan kamar tidur, membersihkan kamar mandi, menyapu ruangan, teras, dan halaman, semua itu merupakan upaya pertama yang harus dilakukan untuk membiasakan anak bekerja dan menumbuhkan sifat rajin. Ketika sampai usia belajar, maka hendaknya dahulukan mengajar mereka menulis sebelum membaca. Biarkan anak belajar membaca dari apa yang dia tulis, karena menulis itu sifatnya aktif sedang membaca pasif. Perhatikan perkembangan kemampuan psikomotorik-nya untuk mengimbangi kemampuan kognitif-nya. Ajarkan pula mereka, misalnya, terbiasa mengolah barang-barang bekas sebelum mengambil keputusan untuk membeli yang baru.

Sebaliknya, segala penyebab, sarana, dan metode yang dapat menumbuhkan sifat malas pada anak harus ditiadakan atau dijauhkan dari anak. Malas -selain produk sistim sosial- asalnya adalah masalah fisik -seperti terlalu lemahnya tubuh untuk bergerak atau melakukan satu pekerjaan- . Namun jika tidak segera diambil tindakan ia berubah menjadi masalah mental. Karenanya, orang tua harus memperhatikan pertumbuhan fisik anak dan perkembangan motorik atau keterampilannya. Sudahkah gizi yang dibutuhkan bagi pertumbuhannya tercukupi ?Apakah ia terlalu kurus atau gemuk untuk umurnya ? Proporsionalkah berat badan dengan tingginya ? Apakah ia sudah bisa menjaga keseimbangan tubuhnya ? Cukup lincahkah gerakannya ? Bagaimana akurasi gerak atau bidikannya? Bagaimana kecepatan geraknya ? Bagaimana kekuatan tenaganya ? Bagaimana ketahanan tubuhnya, baik ketika menahan beban maupun ketika menahan lelah ? Keseluruhan masalah di atas -meski tidak selalu- sedikit banyak berpengaruh terhadap mentalnya.

Ulangi sering-sering sabda Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– berikut ini:

“المؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف. وفي كل خير.

احرص على ما ينفعك واستعن بالله. ولا تعجز… (رواه مسلم)

Mu’min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai ALLAH ketimbang mu’min yang lemah. Dan pada seluruhnya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah di dalam hal yang mendatangkan manfa’at bagimu, serta mohonlah pertolongan kepada ALLAH dan jangan merasa lemah…. (HR; Muslim)

Karenanya, segala bentuk kamuflase, dari kemalasan -ngamen misalnya-, atau main kartu, dadu, dan segala bentuk permainan yang menghabiskan waktu tidak boleh kita biarkan dilihat oleh anak kita kecuali kita jelaskan kepada mereka, “Itu orang malas! Itu pekerjaan orang malas !” Karena sesungguhnya, melalui kamufalse kemalasan yang sering mereka lihat lah kemalasan -sadar atau tidak disadari- menemukan pembenaran teorits, bahkan filosofisnya, Dan sifat licik merupakan hasil kombinasi cerdas dengan malas. Kemudian, jangan dikira bahwa malas itu sekedar masalah mental. Malas juga bisa menjadi masalah keyakinan. Sebagaimana hasad (dengki) mengurangi kesempurnaan iman akan Taqdir, begitu pula dengan malas. Ketahuilah, bahwa sifat rajin akan menumbuhkan optimisme, dan optimisme adalah bagian dari wujud husnudz-dzonn billah (berbaik sangka kepada ALLAH). Maka, sebaliknya, malas akan menumbuhkan pesimisme, dan pesimisme adalah bagian dari wujud su’udz-dzon billah (berburuk sangka kepada ALLAH). Padahal Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah berwasiat:

لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن الظن بالله عز وجل“.

“Jangan kalian mati, kecuali di dalam keadaan berbaik sangka kepada ALLAH.” (HR:Muslim dari Jabir bin Abdillah –radhiallahu anhu-)

Lebih dari itu, malas pulalah di antara -selain ilmu dan keyakinan- yang menyebabkan manusia -karena ingin menempuh jalan pintas- terjerumus ke dalam judi, lottre, bahkan ke dalam berbagai bentuk kesyirikan, seperti meminta kekayaan kepada kuburan, pohon, atau benda mati lainnya.

Ya, sebelum anak terlanjur cerdas, hendaknya mereka sudah terbiasa hidup rajin. Sebab, apalah jadinya jika anak terlanjur cerdas, sementara ia terbiasa dikuasai perasaan malasnya. Bukankah kita tidak menghandaki mereka menjadi orang yang licik.

  • Bina Mereka Menjadi Pribadi Yang Kuat

Badan yang kuat lebih berdaya guna ketimbang badan yang lemah. Dengan kekuatan bukan saja seseorang mampu menopang dirinya, bahkan mampu menolong orang lain. Dengan kekuatan seseorang mampu berlari dan melompat. Dengan kekuatan seseorang mampu memanggul beban di punggungnya atau bertahan melawan dorongan arus. Dengan kekuatan pulalah seseorang mampu menghadapi cuaca buruk dan memiliki kekebalan untuk melawan penyakit.

Maka demikian pula jiwa yang kuat. Islam memuji sifat kuat dan mengaitkannya dengan sabar. Kuat, sabar, atau tabah merupakan modal di dalam mengarungi kehidupan -yang memerlukan perjuangan dan penuh dengan cobaan-. Dengannya ia lebih berdaya guna, bermanfaat bagi orang lain, bersemangat dan kreatif, mampu memikul tanggung jawab dan berpendirian, serta mampu beradaptasi dan menetralisir perasaan dirinya. Karenanya, Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- mengajari kita memaknai kekuatan dengan kesabaran dan kemampuan mengendalikan hawa nafsu, sebagaimana sabdanya:

عن أبي هريرة رضي الله عنه:أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:

ليس الشديد بالصرعة، إنما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب.(البخاري)

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-, bahwasanya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda: “Bukanlah yang dikatakan kuat itu jago gulat. Akan tetapi yang dikatakan kuat adalah yang mampu menguasai hawa-nafsunya ketika marah.” (HR: Al Bukhari)

Ya, dengan kesabaran akan lahir berbagai macam kebaikan. Manusia menjadi semakin kuat kemauannya, semakin tegar menghadapi tantangan, serta semakin tenang menghadapi ujian dan cobaan. Maka, upaya dan metode apa saja yang dapat melahirkan serta menumbuhkan kepribadian yang kuat dan sabar harus diciptakan. Perkara kuat dan sabar sudah harus mulai diajarkan ma’nanya dan ditanamkan kepada anak sedini mungkin. Pendidikan harus menjadikannya sebagai program dasar pembinaan sebelum yang lainnya. Perhatikan bagaimana Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– mengajarkan beberapa kalimat kepada Ibnu Abbas –radhiallahu anhu- , yang ketika itu usianya belum mencapai sepuluh tahun:

….Ketahuilah. Bahwa seandainya seluruh manusia bersatu ingin memberikan manfa’at kepadamu, mereka tak akan mampu melakukannya lebih dari yang telah ALLAH tetapkan bagimu. Dan seandainya mereka bersatu ingin mencelakakanmu, mereka tak akan mampu melakukannya lebih dari yang telah ALLAH tetapkan atas mu….” (HR: At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas –radhiallahu anhu-)

“…Ketahuilah. Bahwa pertolongan ALLAH datang melalui kesabaran, bersama perjuangan ada pengorbanan, dan bersama kesulitan ada kemudahan…”

Sebaliknya, segala sarana dan metode yang akan membentuk kepribadian cengeng, mudah marah, mudah patah semangat, dan mudah putus asa harus dihilangkan dari media pendidikan kita. Karena sesungguhnya seluruh sifat-sifat tersebut bersumber dari yang satu, lemah. Anak yang gampang menangis sebetulnya sama dengan anak yang gampang marah. Kemasannya saja yang berbeda, tetapi hakekatnya sama, lemahnya jiwa. Maka, jangan biarkan anak kita mengkonsumsi hal-hal yang melemahkan jiwanya, berupa sya’ir atau lagu-lagu cengeng, serta novel atau film-film picisan. Jangan biarkan anak terbiasa memanjakan perasaannya. Ajarkan kepada mereka nilai-nilai kesatriaan, kesabaran dan ketangguhan yang diambil dari kisah para Nabi –alaihimussallam-, para Sahabat Nabi –radhiallahu anhum-, atau para Ulama dan Mujahid –rahimahumullah-, dan jangan sekali-kali lewat dongeng atau cerita fiktif. Jangan berlebihan memberikan perlindungan pada mereka. Biarkan mereka melatih diri menyelesaikan persoalan-persoalan mereka, baik di dalam menghadapi tantangan masalah, maupun terhadap teman-teman sebayanya. Jangan terlalu cepat memenuhi permintaan mereka, seandainya tidak mendesak. Jika mereka minta 10, berikan 5. Jika mereka minta sekarang, berikan nanti. Ajari mereka bersabar manakala tidak terpenuhi permintaannya. Atau masih banyak lagi cara dan kesempatan untuk melatih kesabaran dan kekuatan mereka.

Ya, sebelum anak terlanjur cerdas, hendaknya mereka telah terlatih bersabar serta memiliki jiwa yang kuat. Lemah akan menjadikan mereka mudah dipengaruhi orang serta gampang lari dari tanggung jawab. Apalah artinya kecerdasan jika tidak diiringi sifat kuat dan sabar. Bukankah kita tidak menghendaki anak kita menjadi orang yang pengecut, karena ternyata pengecut itu merupakan kombinasi cerdas dengan lemah.

Ya, apalah artinya cerdas tanpa amanah, santun, rajin, dan kuat. Bukankah kita tak menginginkan anak kita menjadi seorang penipu sadis yang licik lagi pengecut.

http://rumahbelajaribnuabbas.wordpress.com/2009/03/17/sebelum-anak-terlanjur-cerdas/

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*