Hukuman bagi Orang Murtad

oleh : Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA
(Rubrik Konsultasi Agama Islam Harian Serambi Indonesia 11-6-2010)
Pertanyaan
Assalamu’alaikum Warahmatullahi  Wabarakatuh.

Akhir akhir ini terdengar kembali adanya upaya upaya pengdangkalan aqidah dan pemurtadan. Yang ingin saya tanyakan, apa hukumnya seseorang murtad dan adakah sanksi syariat khusus yang dikenakan kepada pelaku murtad.

Wassalam,
Muhammad Jalil, Banda Aceh.

Jawaban
Wa’alaikumus Salam Warahmatullahi  Wabarakatuh
Saudara Muhammad Jalil, yth.

Pengertian riddah adalah sebagai berikut: Menurut Al Kasani al Hanafi bahwa sudah termasuk murtad orang-orang yang melontarkan kalimat kufur dengan lisan setelah adanya iman, jadi riddah adalah kembalinya seseorang dari keimanan kepada kekufuran. Ash Shaawi al Maliki berkata: “Riddah adalah kufurnya seorang muslim dengan ucapan terang-terangan, atau ucapan yang yang menjurus kepada kekafiran atau mengerjakan sesuatu yang mengandung kekufuran.

Sedang menurut Asy-Syarbaini asy-Syafi’i riddah adalah memutuskan atau melepaskan diri dari Islam dengan niat ataupun perbuatan, demikian pula ucapan baik yang berupa olok-olok, penentangan ataupun berbentuk keyakinan.

Dari pengertian dan penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa riddah adalah kembali atau berbaliknya seseorang dari keimanan. Dan secara bahasa ia memang memiliki arti kembali sebagaimana difirmankan oleh Allah, artinya: “Dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh).” (Al-Maidah: 21).

Berbaliknya seorang dari Islam dapat saja dalam bentuk i’tiqad (keyakinan), ucapan dan perbuatan, dan ini sejalan dengan pengertian iman yang juga mencakup keyakinan hati, ucapan lisan dan perbuatan anggota badan. Atau secara rinci bentuk riddah dapat kita jabarkan sebagai berikut:

1. Riddah dengan ucapan hati seperti mendustakan wahyu yang diturunkan Allah seperti tidak mengimani bahwa semua ayat Quran itu kalamullah atau berkeyakinan adanya Pencipta selain Allah dsb.

2. Riddah dengan perbuatan hati seperti membenci Allah dan Rasulullah-Nya, sombong dan enggan mengikuti perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam

3. Riddah dengan ucapan lisan seperti mencela Allah atau mencela Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam, berolok-olok terhadap agama dan sebagainya.

4. Riddah dengan perbuatan anggota badan seperti sujud kepada berhala, menghina Mushaf Alquran dan lain sebagainya.

Hukuman bagi orang murtad adalah dikenakan hukuman bunuh (mati) tentunya setelah melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan penetapan oleh Mahkamah Syar’iyah.  Shahibul Fatwa berkata: “Sesungguhnya jikalau pelaku murtad itu tidak dihukum mati maka tentu setiap orang yang memeluk Islam akan seenaknya keluar dari Islam. Hukuman (mati) tersebut dilakukan untuk mencegah orang dari main-main dalam agama dan dengan leluasa dan seenaknya keluar dari agamanya.”

Orang murtad yang dihukum mati itu tidak dimandikan, tidak dishalatkan dan tidak dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. Di antara dalil yang menunjukkan pensyari’atan hukuman mati bagi orang murtad adalah hadits riwayat Imam al Bukhari, bahwasannya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah menghukum orang zindik dengan cara membakar.

Lalu berita itu sampai kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu maka ia berkata: “Kalau saja aku pada tempatmu, maka aku tidak membakar mereka karena larangan Nabi: “Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah.” Dan yang aku lakukan adalah membunuh mereka sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

: “Barang siapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah ia.”Maksud dari mengganti agama adalah mengganti Islam dengan agama lain, sebab pada dasarnya agama itu hanyalah Islam, sebagaimana firman Allah, artinya: “Barang siapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) daripadanya.” (Ali Imran: 85).

Para shahabat senantiasa memegang teguh hukum ini, seperti tersebut dalam sebuah riwayat ketika Muadz bin Jabal mengunjungi Abu Musa Al Asy’ari (ketika itu keduanya sama-sama menjadi Amir di Yaman) ia melihat ada seorang laki-laki yang sedang diikat, maka Muadz bertanya: “Siapakah orang ini?” Abu Musa menjawab: “Ia dulu seorang Yahudi, kemudian masuk Islam namun kini berbalik lagi menjadi Yahudi. Abu Musa melanjutkan: “Silakan duduk!” Muadz lalu menjawab: “Tidak! Aku tidak akan duduk sehingga hukum Allah dan RasulNya ditegakkan untuk orang ini,” (ia mengucapkan ini tiga kali). Maka diputuskanlah perkara orang tersebut dan  akhirnya dihukum mati. (Riwayat Al Bukhari).

Dalam Al-Bidayah, Ibnu Katsir berkata tentang peristiwa-peritiwa di tahun 167 H diantaranya adalah: “Al-Mahdi senantiasa memantau perkembangan para zindik di seluruh penjuru negeri, menghadirkan serta mengadili mereka. Lalu menghukum mati mereka dalam jarak hanya sejengkal dari hadapannya.”

Yang tak kalah masyhurnya adalah kisah dihukum matinya Al-Hallaj yang mengaku dirinya memiliki sifat ketuhanan serta menyebarkan faham hulul (bersatunya hamba dengan Rabb). Ibnu Katsir menggambarkan bagaimana proses eksekusi terhadap Al Hallaj ini, beliau berkata: “Didatangkan Al Hallaj, lalu dicambuk seribu kali. Setelah itu kedua tangan dan kakinya dipotong dan kepalanya dipenggal. Jasadnya dibakar dan abunya dihanyutkan di sungai Tigris di Irak. Kepalanya ditancapkan di sebuah jembatan kota Baghdad selama dua hari, kemudian dibawa ke Khurasan dan dibawa keliling di seluruh penjuru kota.

Riddah model Al Hallaj ini bukan sekedar riddah biasa, namun mengandung pelecehan terhadap Allah dan Rasul Nya, permusuhan dan penghinaan yang mendalam serta hujatan terhadap agama Allah. Untuk zaman kita ini mungkin bisa kita sebut nama Salman Rushdi yang tak kalah kerasnya dalam memusuhi Islam dan menghina agama Allah. Demikian juga dengan orang-orang yang mengartikan “huwa” pada Qul Huwallahu Ahad, dengan manusia, sehingga berarti “Katakanlah Wahai Muhammad bahwa Ia (manusia) adalah Allah.” Na’udzu billah.

Ibnu Taymiyah berkata: “Riddah itu ada dua macam; riddah mujarradah (murni) dan riddah mughalazhah (kelas berat) yang secara khusus disyariatkan hukuman mati. Kedua-duanya memang terdapat dalil yang menjelaskan di haruskannya hukuman mati bagi pelakunya, hanya saja dalil yang menunjukkan gugurnya hukuman mati dengan bertaubat tidak mencakup kedua kelompok tersebut, tapi hanya untuk kelompok yang pertama yaitu riddah mujarradah (murni). Tinggallah kelompok kedua (riddah mughalazhah), dimana telah jelas dalil diwajibkannya hukuman mati bagi pelakunya, serta tidak ada nash maupun ijma’ yang menunjukkan gugurnya hukuman mati bagi dia. Qiyas (penyamarataan) dalam hal ini tidak bisa diterima karena adanya perbedaan yang jelas (antara kedua-nya).”

Beberapa penyebab riddah, Jahil (bodoh) terhadap agama Allah dan lemah dalam berpegang dengan prisip-prisip akidah yang benar. Terutama sekali ketidak-tahuan terhadap hal-hal yang menjerumuskan ke dalam kekufuran, serta resiko-resiko orang yang murtad baik sewaktu di dunia maupun di akhirat.

Bagi pembaca yang ingin mengkaji lebih dalam lagi, dapat merujuk pada kitab-kitab muktabar, antara lain: Al-Fatawa, Lisy-Syaikhil Islam, jilid 20 halaman 102; Fathul Baari jilid 13, halaman 272; Al-Bidayah Wan Nihaayah Li Ibni Katsir, jilid 10 halaman 149 dan jilid 11 halaman 143; dan kitab Ash-Shaarimul Masluul, jilid 3 halaman 696.

Demikian, Wallahu a’lamu bish-shawaab.

* Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA adalah Ketua Umum MPU Aceh